Jakarta (ANTARA News) - Kondisi sama yang dapat menyebabkan terulangnya kasus Surat Perintah 11 Maret atau yang dikenal Supersemar perlu dicegah, meski tidak ada potensi mengarah ke sana. "Supersemar terjadi pada saat kondisi kacau karena ada pihak yang keluar dari koridor seperti kudeta dan ancaman," kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Politik Indo Barometer, M Qodari, di Jakarta, Senin. Qodari mengatakan, Supersemar yang ditandatangani Presiden Soekarno untuk diserahkan ke Soeharto memang merupakan variabel penting yang melahirkan sejarah Indonesia. "Supersemar lahir karena ancaman PKI, namun ada yang bilang Supersemar merupakan pintu masuk bagi Soeharto untuk menggunakan kekuasaan," katanya. Menurut Qodari, kontroversi naskah asli dan isi Supersemar tidak perlu diperpanjang lagi, namun seharusnya Supersemar dijadikan pelajaran dan masukan agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. "Harus dipikirkan bagaimana agar kejadian itu tidak terulang lagi, jangan hanya terpaku pada kontroversi. Memang potensi seperti kudeta tidak ada, tapi kita harus mencegahnya," katanya. Qodari menjelaskan, kudeta biasa terjadi karena ada kelompok yang menginginkan jalan pintas dan krisis sosial serta krisis ekonomi dapat membuka untuk memunculkannya. Oleh karena itu, jangan sampai kondisi ekonomi bangsa Indonesia saat ini sama dengan masa sebelumnya, sehingga ada kemungkinan atau peluang untuk dikeluarkannya surat yang sama dengan Supersemar. Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966 menandatangani surat perintah kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan. Pada waktu itu, tiga perwira tinggi Angkatan Darat, M Jusuf, Amir Machmud, dan Basuki Rahmat datang menemui Bung Karno di Istana Bogor meyakinkan Bung Karno menandatangani Supersemar. Meskipun Bung Karno tidak dapat diubah pendiriannya yang tak mau membubarkan PKI, tapi Bung Karno cukup realistis bahwa sebagian masyarakat ada yang tidak sejalan dengan pemikirannya, maka ditandatanganilah Supersemar tersebut. Menurut Direktur Indonesian Democracy Watch Ridwan Saidi, tindakan Supersemar tersebut merupakan penyelamatan negara atau sauvetage d`Etat dan dapat saja yang bersangkutan dipandang sah, atau tidak sah, menurut hukum yang berlaku.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007