Jakarta (ANTARA News) - Direktur Wahid Institute yang juga politisi dan aktivis, Yenny Wahid, berbincang dengan ANTARA News mengenai pengalamannya menggunakan sosial media.
Pemilik akun @yennywahid ini menilai sosial media memberikan ruang bagi kaum hawa untuk mengekspresikan diri namun juga membuat dampak negatif seperti rentan tekanan psikologis.
Berikut petikan wawancara dengan anak Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid tersebut.
T( tanya): Akun apa saja yang dimiliki?
J (jawab) : Twitter, Instagram. Path sudah didownload-in suami saya tapi enggak pernah saya isi. Facebook dulu ada tapi terlalu banyak dipakai orang untuk nge-post yang aneh-aneh, lalu saya nonaktifkan.
T: Bagaimana kebiasaan ber-sosial media?
J: Kadang-kadang aktif, kadang-kadang pasif. Memang seharusnya konstan, saya belum meng-upgrade cara saya bersosmed. Masalahnya saya terjebak pada keinginan untuk menjadi otentik, sehingga maunya mengerjakannya sendiri, enggak mau pakai admin, tetapi orang dengan kesibukan seperti saya jadi sulit sekali.
T: Bagaimana menanggapi haters di sosial media?
J: Haters harus dijelaskan dengan santai. Kita harus jelaskan faktanya, tapi dengan cara yang santai, dan jangan pernah terjebak emosi, apalagi dengan tweet war, kalau masih ada yang enggak puas saya selalu bilang "silakan saja, enggak masalah kok kalau enggak puas".
T: Apakah membalas komentar atau kicauan haters?
J: Kadang-kadang saya reply, saja jelaskan dengan cara saya, santai saja, karena kalau dibikin mengikuti mereka, ngapain? Energi kita habis terbuang meladeni orang yang memang pikirannya sudah penuh dengan negativitas.
T: Komentar seperti apa yang dilontarkan haters?
J: Kalau ada apa-apa pasti jilbab saya yang diserang. Ada orang yang mengatakan bahwa hanya ada satu cara berjilbab yang benar, yang lainnya tidak benar. Padahal dari dulu nenek saya, orang tua, cara berpenutup kepalanya ya seperti saya ini, dan mereka isterinya kiyai, anak kiyai, sangat mengerti yang namanya hukum Islam, enggak masalah, kok sekarang seolah-olah dipermasalahkan, diharamkan, dianggap enggak cukup.
Jadi, kalau saya mengikuti kemauan orang-orang yang ingin mendikte satu interpretasi saja, cara berkerudung, maka saya mengatakan nenek saya salah, ibu saya salah, meng-iya-kan itu, dan saya enggak mau, buat saya cara yang saya lakukan, saya yakini, tidak menyimpang dari ajaran agama. Kalau ada yang enggak menerima silakan, saya tinggal menutup mata saja.
T: Beralih ke soal pilkada DKI, ada calon perempuan, yang punya julukan Wanita Emas...
J: Perempuan ikut pilkada menurut saya sangat bagus. Jangan cuma wanita emas kalau bisa, kalau bisa wanita berlian, wanita perak ikut semua.
Saya tidak mengenal beliau secara pribadi, tetapi saya mengagumi tekad dan keberaniannya untuk selalu mencalonkan diri.
T: Kalau Ahmad Dhani?
J: Saya kenal dulu, terakhir kali ketemu ketika dia masih bersama Maia, jadi sudah lama sekali. Dia jadi kader PKB-nya kan setelah saya enggak di PKB lagi, jadi enggak ada kontak.
Saya kenalnya sebagai seorang musisi, bukan sebagai aktivis politik, jadi saya belum pernah mendengarkan ide-ide berpolitiknya, saya tidak bisa mengukur, yang saya tahu cuma baca di media saja.
T: Melihat pencalonan Ahmad Dhani sekarang?
J: Sah-sah saja, asal jangan sampai nasibnya sama dengan Bang Rhoma. Sebagai warga negara semua orang punya hak. Apabila dia merasa dia dapat mengatasi persoalan Jakarta, dia punya hak untuk mencalonkan diri.
T: Kenapa Anda tidak mencalonkan diri?
J: Saya punya anak masih kecil, tiga orang, paling kecil dua tahun, malam kalau sedang rewel saya tidak bisa tidur, bayangkan kalau pagi harus kampanye tidak akan mungkin bisa. Saya mengerti keterbatasan waktu saya sendiri, dan kemudian prioritas saya pada saat ini adalah keluarga.
T: Untuk kedepannya? Apakah berniat dan berminat untuk mencalonkan diri?
J: Pada akhirnya, politik memang menjadi salah satu warisan Gus Dur yang kami yakini salah satu putri-putrinya akan melanjutkan. Siapa di antara kami? Mungkin waktu yang akan menjawab. Bahwa salah satu dari kami tentunya akan mencoba karena mengingat kami semua punya komitmen untuk meneruskan perjuangan Ayah kami.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016