Jakarta (ANTARA News) - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Kamis, mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 6,75 persen, mengakhiri pemangkasan suku bunga acuan tiga kali beruntun oleh Bank Sentral sejak awal tahun sebesar 75 basis poin.
Bank Sentral juga mempertahankan tingkat bunga acuan baru yang berlaku 19 Agustus 2016, yakni "7-Day Reverse Repo Rate" di 5,50 persen, yang ditujukan untuk mentransmisikan pengaruh kebijakan moneter BI ke pasar uang.
"Kita pertahankan sejalan dengan sasaran inflasi dan ingin mendorong pemulihan ekonomi domestik," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara saat menyampaikan hasil RDG April 2016.
BI juga mempertahankan bunga fasilitas deposit (deposit facility) dana perbankan di 4,75 persen dan bunga fasilitas penyediaan dana rupiah bagi perbankan (lending facility) di 7,25 persen.
Dengan "Reverse Repo Rate" untuk tujuh hari di 5,5 persen, suku bunga acuan operasi moneter (term structure) sesuai jangka waktunya adalah 5,6 persen untuk tenor dua minggu, 5,8 persen untuk satu bulan, 6,2 persen untuk tiga bulan, 6,45 persen untuk enam bulan, 6,6 persen, 6,6 persen untuk sembilan bulan, dan 6,75 persen untuk 12 bulan.
"Reverse Repo Rate" merupakan bunga transaksi pembelian bersyarat SUN oleh bank kepada BI dengan kewajiban penjualan kembali kepada BI sesuai jangka waktunya.
"Reverse Repo Rate" sebagai instrumen bunga acuan baru BI akan berlaku pada 19 Agustus 2016, yang dinilai akan memberikan kesempatan kepada BI untuk memberikan pengaruh lebih signifikan dalam transaksi di pasar uang, terutama pasar uang antarbank.
Dipertahankannya tingkat suku bunga acuan Bank Sentral April imi, sekaligus mengakhiri rentetan pelonggaran moneter yang sudah dilakukan sejak Januari 2016.
BI Rate dipangkas 75 basis poin secara bertahap sejak Januari 2016, yang mengindikasikan bank sentral mulai lunak terhadap kebijakan moneter ketatnya, yang dipertahankan sepanjang 2015.
Bahkan untuk penurunan Giro Wajib Minimum Primer, Bank Sentral sudah menurunkan dengan akumulasi 1,5 persen sejak Desember 2015.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan prioritas Bank Sentral ke depan adalah menguatkan kerangka operasi moneter.
Sejak memulai pelonggaran moneter di akhir 2015, BI menilai transmisi manfaat kebijakan moneter ke perekonomian belum maksimal. Indikasinya, penurunan suku bunga kredit perbankan berjalan lambat, namun hal itu dipengaruhi juga oleh permintaan masyarakat dan swasta yang belum sepenuhnya pulih.
Dalam mempertahankan suku bunga acuan April 2016 ini, BI melihat pemulihan ekonomi domestik yang akan terus berjalan dan akan berlanjut di triwulan II 2016.
BI bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi triwulan I berada di rentang 5,1-5,2 persen, lebih tinggi dibanding triwulan IV 2015, dipicu percepatan belanja pemerintah, terutama belanja modal yang mencatatkan pertumbuhan agresif hingga 161 persen secara tahunan.
Sementara laju inflasi masih terkendali, Bank Sentral memprediksi April 2016 akan terjadi deflasi karena harga bahan bakar minyak turun dan volatilitas harga bahan pangan yang dinilai mereda. BI menilai laju inflasi tahunan masih sesuai radar di empat persen plus minus satu persen.
Untuk dinamika perekonomian global, BI melihat perlambatan ekonomi masih berlanjut yang memicu fenomena pelonggaran moneter secara global, ditandai dengan beberapa bank sentral yang menerapkan suku bunga negatif.
"Suku bunga The Fed Bank Sentral Amerika Serikat diperkirakan baru naik pada semester II 2016, sementara ekonomi Tiongkok mengarah ke kondisi yang stabil, namun ada risiko pelemahan yang masih tinggi," ujar Juda.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016