Drone memang merupakan alat yang efektif dalam melakukan pengawasan, tetapi bagaimana bila pesawat tersebut digunakan sebagai alat untuk mengeksekusi orang-orang yang masuk dalam daftar teroris global di negara-negara maju?
Hal tersebut coba dituturkan sutradara asal Afrika Selatan, Gavin Hood dalam film terbarunya, "Eye in the Sky", yang merupakan produksi Inggris Raya.
"Eye in the Sky" awalnya menceritakan tentang sebuah operasi pengawasan atas sejumlah aktivitas terorisme di Kenya, sebuah negara di kawasan timur Afrika.
Operasi tersebut dilakukan oleh pemerintahan Inggris, dengan pucuk militernya adalah Letnan Jenderal Frank Benson (Alan Rickman) dengan disaksikan oleh otoritas sipil negara Ratu Elizabeth tersebut.
Letjen Frank Benson memiliki anak buah yaitu Kolonel Katherine Powell yang menjalankan misi tersebut dari markas komando rahasia Inggris yang terpisah dengan tempat Benson berada.
Namun, teknologi drone yang digunakan adalah milik USAF (Angkatan Udara Amerika Serikat), jadi pihak Inggris juga berkoordinasi dengan militer AS yang dikoordinasikan Letnan Kolonel USAF Ed Walsh (yang diperankan sendiri oleh sang sutradara, Gavin Hood).
Untuk mendukung operasi tersebut, Ed Walsh menugaskan dua tentara AS dalam mengendalikan drone, yaitu pilot Steve Watts (Aaron Paul) dan ko-pilot Carrie Gershon (Phoebe Fox).
Awalnya, misi tersebut hanyalah untuk mengawasi dari udara dengan menggunakan drone, kedatangan dua pemuda radikal yang masing-masing berasal dari Amerika Serikat dan Inggris.
Selain itu, pihak militer Inggris juga sedang berupaya menangkap sepasang suami-istri (di mana sang istri adalah warga negara Inggris) yang menjadi perekrut kaum muda untuk bergabung dengan kelompok teror di Kenya, Al Shahaab.
Kolonel Powell, yang sudah sekian tahun lamanya mencari warga negara Inggris yang masuk dalam daftar teroris itu mengusulkan agar drone segera menembakkan misilnya ke rumah tersebut, terutama untuk mencegah korban lebih besar dari dua pemuda yang tengah dipersiapkan untuk menjadi pengebom bunuh diri.
Namun, pihak kabinet pemerintahan Inggris tidak setuju begitu saja karena ada banyak implikasi baik dari segi legalitas internasional maupun perpolitikan global bila pihak Inggris (yang bekerja sama dengan AS), untuk menyetujui serangan misil drone di suatu kawasan yang dipenuhi warga sipil.
Di sinilah dilema moralitas dalam menggunakan drone bersenjata. Apakah pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan eksekusi terhadap sejumlah orang, dengan asumsi bahwa tindakan tersebut bisa menyelamatkan jumlah jiwa yang jauh lebih besar?
Dalam kasus ini, sejumlah orang yang akan dieksekusi oleh misil drone itu adalah kelompok teroris yang sedang merencanakan bom bunuh diri, yang diasumsikan juga, akan dilakukan di tempat ramai sehingga berpotensi membunuh banyak warga.
Penggunaan drone memang telah lama digunakan oleh pemerintahan Amerika Serikat dalam mencari dan menghabisi sejumlah orang yang dinyatakan sebagai teroris yang dicari oleh otoritas negara adidaya itu.
Dengan memakai misil drone, maka militer AS memiliki keuntungan tidak usah memakai kekuatan darat, yaitu tentara yang diturunkan secara langsung ke daerah konflik, tetapi cukup dengan hanya menggunakan drone.
Namun, kelompok yang tidak sepakat dengan eksekusi melalui drone itu adalah setiap orang memiliki hak untuk menjalani pengadilan atas dugaan kejahatan yang mereka lakukan, sehingga misil drone juga dinilai sebagai aksi pembunuhan ilegal yang dilakukan oleh pihak negara.
Apalagi dengan semakin maraknya tren penghapusan hukuman mati di banyak negara yang mengakibatkan semakin banyak yang tidak setuju dengan aksi eksekusi drone tersebut.
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016