Sebetulnya jalur tidak ada yang resmi, sekarang yang resmi itu bagaimana? Kalau resmi tentunya harus ada sertifikat dari Perhutani...

Purwokerto (ANTARA News) - Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, melalui Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) setempat akan segera menata jalur pendakian Gunung Slamet yang melalui Wanawisata Baturraden.

"Kami akan segera melakukan pendekatan kepada komunitas-komunitas yang mengelola wisata minat khusus di sekitar Baturraden untuk diperkuat manajemen mereka termasuk alat-alat yang mungkin bisa kita kerjasamakan terutama alat komunikasi," kata Kepala Bidang Pariwisata Dinbudparpora Banyumas Deskart Setyo Jatmiko di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Rabu.

Ia mengakui saat terjadi kecelakaan yang menimpa seorang pendaki asal Jakarta pada hari Minggu (17/4), salah satu kelemahannya berupa alat komunikasi karena sinyal telepon seluler atau radio komunikasi akan hilang di atas ketinggian 2.000 meter lantaran belum ada repeater atau menara transmisi.

Dalam beberapa diskusi, kata dia, muncul wacana pemasangan repeater oleh Dinporabudpar Banyumas di lereng Gunung Slamet pada ketinggian di atas 2.000 meter.

Akan tetapi jika tidak bisa, lanjut dia, pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dinhubkominfo) Banyumas terkait pemasangan repeater tersebut termasuk dengan Perhutani selaku pemilik lahan.

"Dari pengalaman enam kali pendakian Gunung Slamet yang pernah saya lakukan, dari batas vegetasi ke puncak (pada jalur pendakian Baturraden) kemiringannya cukup tajam," katanya.

Menurut dia, pihaknya akan menyurvei kembali saat pendakian pada tanggal 1 Suro yang bertepatan dengan 2 Oktober 2016 guna mengetahui kemungkinan pemasangan alat pengaman untuk merayap ke kawah yang berada di puncak Gunung Slamet.

Berdasarkan pengalaman, kata dia, areal tersebut sangat licin dan batunya sering bergerak sehingga harus diamankan.

"Hanya saja persoalannya, batu granit yang ada di kawah itu kalau dibor boleh atau tidak, batunya lapuk atau tidak karena di sela-sela batu keluar airnya seperti pasta gigi. Kita akan coba seperti apa nanti pengamanan dari batas vegetasi ke puncak," katanya.

Terkait manajemen pendakian, Jatmiko mengatakan bahwa pihaknya selama ini telah mendekati komunitas yang mengelola pendakian Gunung Slamet melalui jalur Baturraden, yakni Radenpala.

Menurut dia, Radenpala merupakan komunitas yang selama ini mengelola pendakian Gunung Slamet melalui jalur Baturraden meskipun dengan peralatan seadanya.

"Padahal jalur pendakian yang melalui Baturraden sudah cukup terkenal. Kalau kita lihat, kecelakaan kemarin bukan pada jalur pendakiannya tetapi di batas vegetasi ke atas yang tidak ada tanaman," katanya.

Lebih lanjut mengenai kecelakaan yang dialami seorang pendaki asal Jakarta, dia mengatakan bahwa rombongan yang terdiri atas 13 pendaki tersebut sebenarnya telah didata dan difoto oleh petugas di Posko Komunitas Radenpala.

Bahkan, kata dia, rombongan pendaki tersebut telah ditawari untuk dipandu oleh pemandu lokal namun mereka tidak mau dan memilih berangkat sendiri hingga akhirnya salah seorang di antaranya mengalami kecelakaan akibat terjatuh di atas batas vegetasi yang berupa areal pasir dan batu.

"Memang, kalau menggunakan pemandu lokal, mereka harus bayar," jelasnya.

Disinggung mengenai adanya kabar jika jalur pendakian Gunung Slamet yang melalui Baturraden itu bukan jalur resmi, Jatmiko mengatakan bahwa seluruh jalur pendakian yang ada di Gunung Slamet tidak ada yang resmi.

"Sebetulnya jalur tidak ada yang resmi, sekarang yang resmi itu bagaimana? Kalau resmi tentunya harus ada sertifikat dari Perhutani, jalur Bambangan (Purbalingga) pun tidak ada sertifikat dari Perhutani," tegasnya.

Menurut dia, jalur pendakian terlihat resmi karena adanya pembayaran tiket tanda masuk dan itupun dikelola oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

"Saya yakin, semua jalur pendakian tidak memiliki sertifikat atau dasar hukum yang menyebutkan jalur pendakian itu resmi. Kalau jalur Bambangan itu resmi, apakah punya keputusan menteri," katanya.

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016