Jakarta (ANTARA News) - Perkembangan ekonomi global pasti akan mempengaruhi kondisi ekonomi di Indonesia, apalagi perekonomian Indonesia bersifat terbuka. Perekonomian Indonesia terbuka dari sisi neraca pembayaran mulai dari perdagangan, arus modal masuk dan keluar (capital inflow atau outflow), dan kegiatan pemerintah melalui penarikan dan pembayaran utang luar negeri. "Sebagai negara kecil dan terbuka dalam kancah ekonomi global, yang bisa dilakukan Indonesia adalah memperkuat pondasi ekonomi dan memperbesar fleksibilitas. Ekonominya harus fleksibel," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani. Berbagai keputusan harus bisa disesuaikan atau diubah secepatnya ketika memang harus diubah dalam kondisi perekonomian yang overheating (kepanasan). "Jangan kaku di mana kalau sudah ambil keputusan tidak bisa berubah. Di sisi lain APBN juga harus sehat demikian juga perbankan juga harus sehat," katanya. Ia menjelaskan, dalam beberapa kurun waktu perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Cina telah menjadi dua mesin ekonomi utama di dunia. Kemudian perekonomian di beberapa kawasan seperti India, Jepang, dan Eropa juga kembali menggeliat. Sudah sejak 2003 hingga 2004, berbagai kalangan melihat bahwa perekonomian AS sebagai lokomotif perekonomian dunia sudah tidak sustainabel karena perekonomian AS selalu mengalami defisit. Namun karena pemerintahannya tidak ingin mewariskan kondisi ekonomi dalam kondisi jelek maka mereka banyak menetapkan policy agar momentum pertumbuhan ekonominya tetap tinggi seperti melakukan pemotongan pajak besar-besaran. "Tapi orang melihat itu adalah policy jangka pendek yang sebenarnya tidak berimplikasi baik dalam jangka panjang dan AS tetap mengalami defisit bahkan defisit kembar yaitu pada APBN-nya dan pada neraca pembayarannya," jelas Sri Mulyani. Dalam beberapa kurun waktu, defisit AS itu tidak menjadi masalah karena dapat dikatakan hampir seluruh dunia membiayai defisit AS dengan cara membeli surat utang yang dikeluarkan AS atau menyimpannya dalam cadangan devisa. Cadangan devisa Cina dalam bentuk dolar AS saat ini sangat besar hingga mencapai di atas 1 triliun dolar AS. Demikian juga dengan negara-negara lain, cadangan devisanya meningkat cukup drastis seperti India yang saat ini di atas 80 miliar dolar AS. "Dari sisi produksi dan perdagangan sebenarnya AS kalah dengan Cina tetapi dari sisi capital inflow ke AS, pasar AS sangat besar di mana semua negara memiliki andil di pasar AS," jelas Sri Mulyani. Namun sekali lagi banyak kalangan menilai bahwa kondisi pasar modal dan pasar uang di AS yang tidak didukung dengan produksi dan perdagangan, tidak akan sustainable lagi dalam jangka panjang. "Makanya ketika New York Stok Exchange (NYSE) dianggap kurang atraktif dibanding London, maka pejabat di AS mereview berbagai kebijakannya karena dianggap akan mempengaruhi defisit neraca pembayarannya," kata Sri Mulyani.Akan terus me-review kebijakan Menurut dia, pihak AS maupun pelaku ekonomi besar lainnya akan terus-menerus mereview berbagai kebijakannya atas kondisi yang berkembang sehingga perekonomiannya tetap terjaga. "Waktu itu Menteri Keuangan seluruh dunia menyatakan bahwa perubahan itu merupakan suatu keharusan. Yang jadi soal adalah apakah perubahan itu soft landing, hard landing, atau crash landing," jelasnya. Menurut dia, Indonesia pernah terkena dampak perubahan situasi global secara drastis di mana Indonesia harus melakukan devaluasi mata uangnya pada tahun 1983 dan tahun 1986. "Meskipun perubahan situasi global dalam 1 hingga 2 tahun ke depan diyakini akan terjadi soft landing, tetapi kita tetap akan terus mewaspadai perubahan yang terjadi," katanya. Menkeu mencontohkan perubahan kebijakan di Cina sebagai respon atas kebijakan AS beberapa waktu lalu telah berdampak kepada kurs Rupiah maupun indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Pada akhir Februari 2007 lalu IHSG BEJ dan kura rupiah mengalami kemerosotan cukup signifikan. IHSG BEJ pada Selasa (27/2) turun 19,943 poin (1,12 persen) menjadi 1.764,008. Pada Rabu siang IHSG turun lagi 57,500 poin menjadi 1.706,508. Sementara nilai tukar Rupiah pada Rabu pagi (28/2) turun tajam hingga menjadi Rp9.185/9.190 per dolar AS dibanding penutupan sebelumnya yaitu Rp9.070/9.092 atau melemah 115 poin.Tidak Khawatir Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan turunnya IHSG BEJ itu karena faktor fundamental ekonomi dalam negeri cukup baik. "Faktor-faktor fundamental dalam negeri yang berhubungan dengan korporasi dan pasar modal rasanya tidak ada yang mendorong penurunan IHSG. Karena itu kita tidak terlalu khawatir," katanya. Menurut dia, perbaikan terhadap kondisi pasar modal maupun kondisi korporasi akan terus dilakukan, namun ia menilai tidak ada faktor dalam negeri yang secara signifikan mendorong adanya penurunan IHSG. Ia menyatakan, penurunan IHSG di BEJ yang terjadi saat itu karena sentimen regional yang sedang terjadi dan Indonesia menerima dampaknya. "Kalau turun karena dampak itu ya nggak apa-apa. Meski demikian kita akan terus mewaspadai," kata Sri Mulyani. Senada dengan Sri Mulyani, Menko Perekonomian Boediono menyatakan turunnya IHSG dan nilai tukar rupiah beberapa waktu terakhir merupakan dampak regional terkait apa yang terjadi di Cina. "Itu gerakan di seluruh dunia. Itu karena kemarin Cina anjlok cukup besar hingga 10 persen, demikian juga dengan Hong Kong. Kalau Hong Kong jelas karena ekornya Cina," kata Boediono. Menurut Boediono, semua negara terkena dampak dari apa yang terjadi di Cina, namun apa yang terjadi di Indonesia masih dalam batas-batas yang terkendali. "Jadi tidak ada yang salah di sini, kita tetap pada kebijakan yang telah kita tetapkan dan sampai saat ini cukup baik," katanya. Ia mengharapkan, dampak global itu hanya akan sementara saja sehingga tidak akan berdampak buruk kepada perekonomian nasional secara keseluruhan. (*)

Oleh Oleh Agus Salim
Copyright © ANTARA 2007