Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Pengusaha Indonesia menilai kebijakan Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak harus menyasar ekonomi bawah tanah ("underground economy") atau pasar ilegal.
"Seharusnya rasio pajak Indonesia bisa 16 persen, namun yang selama ini dicapai hanya berkisar 10-11 persen karena banyak underground economy yang tidak bayar pajak," kata Ketua Bidang Perpajakan Apindo Prijo Handojo pada diskusi di Jakarta, Rabu malam.
Prijo mengatakan kebijakan Tax Amnesty seharusnya tidak hanya berlaku untuk para pengusaha yang memiliki aset di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri, termasuk pasar ilegal.
Menurutnya, baik pasar ilegal maupun para wajib pajak (WP) di dalam negeri juga harus dikejar, sedangkan WP yang sudah patuh menjalankan kewajibannya berhak mendapatkan keamanan untuk tidak dikejar oleh petugas pajak.
Ia mencatat WP berbentuk Badan di Indonesia ada sekitar lima juta, namun yang terdaftar oleh Direktorat Jenderal Pajak hanya 2 juta dan hanya 500.000 di antaranya yang patuh membayar pajak.
"Ada 4,5 juta pengusaha yang tidak bayar pajak sama sekali. Itu baru badannya, manusianya ada 100 juta yang harus bayar pajak. Itu sudah mencakup 98 persen dari tax revenue (pungutan pajak)," kata Prijo lagi.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, orientasi pengampunan pajak juga perlu diintegrasikan pada ekonomi informal.
Menurut Bank Dunia, terdapat sekitar 18 persen Produk Domestik Bruto berasal dari ekonomi sektor informal, seperti usaha kecil dan menengah (UKM).
"Pelaku UKM mendapat kesempatan untuk ikut dan tidak perlu sangsi karena bisa mengakses insentif pemerintah, sehingga kalau ada kebijakan likuiditas, suku bunga turun, juga bisa menikmati. Tax Amnesty bukan untuk tujuan, tetapi sarana untuk membangun perekonomian yang baru," kata Yustinus pula.
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016