Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Keuangan sedang mengkaji untuk pengenaan cukai terhadap kemasan plastik pada botol minuman sebagai ekstensifikasi cukai mengingat masih minimnya obyek barang kena cukai (BKC).
"Indonesia masih minim terhadap barang kena cukai. Kami sedang mengkaji cukai terhadap kemasan plastik, namun belum ada tarif yang ditentukan," kata Kepala Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Nasrudin Joko pada seminar di Jakarta, Selasa.
Nasrudin mengatakan Kementerian Keuangan dan DPR mendorong adanya ekstensifikasi pajak dari sejumlah barang yang termasuk dalam kriteria prioritas usulan BKC baru.
Menurutnya, Indonesia masih tergolong minim dalam pengenaan cukai, yakni masih bergantung pada penerimaan dari tembakau.
Jika dibandingkan negara tetangga di ASEAN, contohnya Thailand, sejumlah komoditasnya dikenakan cukai, mulai dari minuman beralkohol dan non beralkohol, bensin, sepeda motor, bahkan diskotik dan hiburan malam yang merupakan komoditas andalan pariwisata negara tersebut.
Oleh karenanya, pengenaan kemasan plastik botol minuman dinilai dapat meningkatkan penerimaan cukai selain dari tembakau, etil alkohol, minuman beralkohol dan minuman keras.
Selain itu, pengenaan cukai pada botol minuman plastik dapat menjaga kelestarian lingkungan dan menurunkan konsumsi plastik pada masyarakat.
Kebutuhan plastik di Indonesia pada 2015 tercatat mencapai 3 juta ton. Dengan pertumbuhan 7 persen, kebutuhan plastik 2016 diperkirakan mencapai 3,2 juta ton.
Terkait besaran tarif cukai, Nasrudin menjelaskan akan menggunakan tarif spesifik serta ada pengecualian terhadap botol plastik yang tidak dikenakan cukai.
"Tarifnya spesifik bukan persennya. Misalnya per botol berapa. Tergantung (tarif) botol besar atau botol galon mungkin tidak (dikenakan). Semua (botol plastik) pasti dikenakan tapi ada yang diberi pengecualian," ujar Nasrudin.
Pewarta: Mentari DG
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016