"Kawasan pembangunan Asia Timur dan Pasifik menghadapi risiko lebih kuat, termasuk pemulihan yang lebih lambat dari ekspektasi di negara-negara berpenghasilan tinggi dan perlambatan yang mulai lebih awal di China," kata Kepala Ahli Ekonomi Bank Dunia di Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Sudhir Shetty, dalam konferensi melalui video, di Jakarta, Senin.
"Pada saat yang sama, berbagai negara menghadapi ruang yang semakin sempit untuk mengubah kebijakan makroekonomi," kata dia.
Kawasan Asia Timur dan Pasifik terbantu kebijakan makroekonomi yang cermat, termasuk usaha meningkatkan pendapatan domestik di beberapa negara eksportir komoditas.
Namun, guna mempertahankan pertumbuhan di tengah-tengah situasi dunia yang menantang, diperlukan kemajuan berkala dalam reformasi struktural
Shetty mengatakan prediksi ini tergantung pada berbagai risiko yang berkembang. Oleh karena itu, pemerintahan di kawasan Asia Timur dan Pasifik diharapkan tetap mengutamakan kebijakan keuangan dan fiskal yang dapat meredam kerentanan dan memperkuat kredibilitas serta mempertajam reformasi struktural.
Laporan Perkembangan Ekonomi Asia Timur dan Pasifik menganalisis pertumbuhan ekonomi di negara-negara berpenghasilan tinggi melambat dan perlambatan merata terjadi di negara berkembang.
Sementara itu, perdagangan dunia melemah, harga komoditas tetap rendah dan pasar keuangan kurang stabil.
Pertumbuhan China alias Tiongkok diperkirakan pada 6,7 persen pada 2016 dan 6,5 persen pada 2017, yakni lebih lambat dibanding pertumbuhan 6,9 persen pada 2015.
Bila tidak menyertakan China, negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik tumbuh sebesar 4,7 persen pada 2015.
Laju pertumbuhan juga akan naik sedikit ke 4,8 persen pada 2016 dan 4,9 persen pada 2017-2018 dengan didukung pertumbuhan di perekonomian besar Asia Tenggara.
"Namun, perkiraan untuk masing-masing negara bervariasi, tergantung pada hubungan negara-negara berpenghasilan tinggi dan China serta ketergantungan mereka terhadap ekspor komoditas," ujar Shetty.
Kawasan Asia Timur dan Pasifik terbantu kebijakan makroekonomi yang cermat, termasuk usaha meningkatkan pendapatan domestik di beberapa negara eksportir komoditas.
Namun, guna mempertahankan pertumbuhan di tengah-tengah situasi dunia yang menantang, diperlukan kemajuan berkala dalam reformasi struktural
Shetty mengatakan prediksi ini tergantung pada berbagai risiko yang berkembang. Oleh karena itu, pemerintahan di kawasan Asia Timur dan Pasifik diharapkan tetap mengutamakan kebijakan keuangan dan fiskal yang dapat meredam kerentanan dan memperkuat kredibilitas serta mempertajam reformasi struktural.
Laporan Perkembangan Ekonomi Asia Timur dan Pasifik menganalisis pertumbuhan ekonomi di negara-negara berpenghasilan tinggi melambat dan perlambatan merata terjadi di negara berkembang.
Sementara itu, perdagangan dunia melemah, harga komoditas tetap rendah dan pasar keuangan kurang stabil.
Pertumbuhan China alias Tiongkok diperkirakan pada 6,7 persen pada 2016 dan 6,5 persen pada 2017, yakni lebih lambat dibanding pertumbuhan 6,9 persen pada 2015.
Bila tidak menyertakan China, negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik tumbuh sebesar 4,7 persen pada 2015.
Laju pertumbuhan juga akan naik sedikit ke 4,8 persen pada 2016 dan 4,9 persen pada 2017-2018 dengan didukung pertumbuhan di perekonomian besar Asia Tenggara.
"Namun, perkiraan untuk masing-masing negara bervariasi, tergantung pada hubungan negara-negara berpenghasilan tinggi dan China serta ketergantungan mereka terhadap ekspor komoditas," ujar Shetty.
Pewarta: Mentari Gayatri
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016