Jakarta (ANTARA News) - KPK mendalami peran Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dari pimpinan dan anggota badan legislasi DPRD ibu kota tersebut.
"Kalau Sanusi saya kenal. Yang lain tidak saya kenal, seputar Sanusi saja," kata Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta.
Prasetyo menjadi saksi untuk M Sanusi dalam perkara kasus dugaan tindak pidana pemberian hadiah terkait pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) reklamasi tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Selain Prasetyo, KPK juga memeriksa Wakil Ketua Badan Legislasi DPRD Provinsi DKI Jakarta Merry Hotma, anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta S. Nurdi, Ketua Badan Legislasi DPRD Provinsi DKI Jakarta Mohamad Taufik, anggota Badan Legislasi DPRD Provinsi DKI Jakarta Mohamad Sangaji dan Wakil Ketua DPRD Propinsi DKI Jakarta Ferial Sofyan.
"Saya tidak tahu pemberian," tambah Prasetyo," tambah Prasetyo.
Prasetyo juga membantah tahu mengenai Sanusi yang dapat mempengaruhi keputusan paripurna.
"Tidak tahu, urusannya Baleg ya," ungkap Prasetyo.
Sementara anggota Baleg Mohamad "Ongen" Sangaji mengungkapkan juga irit bicara saat dikonfirmasi mengenai keterlibatan Sanusi dalam mengatur raperda terkait Reklamasi Teluk Jakarta.
"Pemeriksaan tentang tugas dan fungsi saya sebagai anggota Baleg, ada 16 pertanyaan ke saya. Tapi begini, saya kan saksi, dan saksi kalau menyampaikan ke teman-teman tidak boleh, sebagai saksi saya sudah menyampaikan ke penyidik dan memang tidak boleh disampaikan ke teman-teman," ungkap Ongen.
Sedangkan abang kandung Sanusi, Wakil Ketua DPRD M Taufik mengakui bahwa ia dikonfirmasi mengenai mekanisme dalam pembahasan raperda.
Bantah Dapat Uang
Ia pun membantah mendapatkan uang dari adiknya terkait pembahasan raperda tersebut.
"Tidak mungkin lah, saya kira tidak ada Sanusi bilang kayak gitu," kata Taufik saat dikonfirmasi mengenai penerimaan uang kepada dirinya dari Sanusi.
Namun Taufik enggan menjelaskan mengenai lambatnya pembahasan raperda pemerintah provinsi DKI Jakarta dan Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta belum sepakat terkait nilai jual objek pajak (NJOP) dimana pemprov DKI Jakarta mengusulkan tambahan kontribusi 15 persen sedangkan DPRD hanya sebesar lima persen dari lahan efektif pulau yaitu seluas 58 persen luas pulau.
"Kan rapat paripurna baru sekali," tambah Taufik singkat.
KPK menetapkan Direktur Utama PT Agung Podomoro Arieswan Widjaja dan Personal Asisten PT APL Trinanda Prihantoro sebagai tersangka pemberi suap sebesar Rp2 miliar kepada Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi terkait pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinnsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Kamis (31/3), KPK menemukan barang bukti uang senilai Rp1,14 miliar dari total Rp2 miliar yang sudah diberikan Ariesman meski belum diketahui total "commitment fee" yang diterima Sanusi. Suap kepada Sanusi diberikan melalui Trinanda Prihantoro.
KPK pun telah mengirimkan surat cegah terhadap lima orang yaitu sekretaris direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Berlian, karyawan PT APL Gerry Prasetya, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaya, Direktur Agung Sedayu Group Richard Halim Kusuma dan petinggi Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan Sugianto.
Namun hingga saat ini belum diketahui apakah Sugianto juga ikut menyuap Sanusi atau anggota baleg DPRD lain karena KPK belum menetapkan tersangka lain.
KPK menyangkakan Sanusi berdasarkan sangkaan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai penyelenggara negara yang patut diduga menerima hadiah dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan kepada Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016