Pekalongan (ANTARA News) - Kejayaan tekstil Pekalongan kini tinggal menyisanya segudang kepedihan. Persoalan yang datang berubi-tubi, telah membuat perusahaan tekstil Kota Batik itu mati suri. Jika di era 1980-an industri tekstil Pekalongan bak gadis molek nan energik, kini semakin renta dengan nafasnya tinggal satu-satu. Kenaikkan bahan bakar minyak (BBM) dan masuknya produk tekstil mancanegara yang lebih murah, merupakan sederetan pemicu terpuruknya industri tekstil Pekalongan. Perusahaan tekstil di Pekalongan tidak lagi mampu menanggung beban biaya produksi yang terlalu besar, di sisi lain PHK besar-besaran dan "merumahkan" karyawan terpaksa dilakukan agar usaha tetap bisa bertahan. Wakil Presiden Direktur Pismatek Group Pekalongan, Widodo mengatakan ratusan usaha tekstil di Pekalongan telah gulung akibat tidak mampu menanggung biaya operasional. Ini tak hanya terjadi di Pekalongan tapi juga di seluruh Indonesia. "Sebelumnya, pemilik usaha tekstil dan garmen di Indonesia ada 1.600 orang, kini hanya tersisa 1.200," katanya. Widodo berharap pemerintah segera menolong industri tekstil yang tengah sekarat ini, dengan menutup atau meminimalsir barang impor. "Tidak ada cara lain, sebab pengusaha Indonesia sudah tidak mampu bersaing lagi dengan produk luar," katanya menandaskan. Kurangnya daya saing industri tekstil Indonesia, kata Widodo disebabkan tingginya bunga bank, yang mencapai 13 persen pertahun, rendahnya produktivitas tenaga kerja, dan masih digunakannya mesin produksi yang sudah tua. "Terpuruknya industri tekstil ini makin diperparah dengan bertambahnya biaya listrik, sedangkan untuk konversi penggunaan batu bara butuh biaya tinggi," tandasnya. Untuk menghadapi persaingan bebas ini, pengusaha tekstil harus memeras otak untuk memproduksi tekstil unggulan, mencari gagasan terbaik, dan berorentasi pada kualitas menuju produk kelas dunia. "Selain itu, peningkatan sumber daya manusia (SDM) penting, agar tidak kalah bersaing dengan negara asing," katanya. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Pekalongan, Umar Ahmad mengatakan dari 300 perusahaan tekstil yang ada di Pekalongan, 90 persen hanya "jalan di tempat" dan sisanya bahkan sudah gulung tikar. Keterpurukan perusahaan tekstil ini, akibat berkurangnya order dan makin bertambahnya pesaing produk tekstil Cina. Saat ini usaha tekstil di Pekalongan tinggal menunggu "bom waktu", jika tidak segera mendapatkan pertolongan pasti akan gulung tikar. Menurut dia, saat ini produksi tekstil Pekalongan dijual ke Yogyakarta, Solo, Semarang, Jakarta, ke Kalimantan dan Sumatera Utara. Sebagian lagi diekspor ke mancanegara seperti Malaysia, Arab Saudi, Eropa, dan Amerika. "Tetapi saat ini, order makin menurun, bahkan Amerika kini mulai melirik ke produk tekstil asal Cina yang harganya lebih murah," katanya. Perusahaan tekstil Indonesia memang dihadapkan pada persoalan yang dilematis karena harus menanggung beban biaya operasional yang cukup tinggi, di sisi lain juga harus memikirkan ratusan nasib karyawannya. Merumahkan Sementara itu nasib 541 buruh PT Mafahtex dan Mahatex di Jalan raya Tirto Kota Pekalongan kini semakin tidak menentu, meskipun mereka telah berulang kali melakukan unjuk rasa ke DPRD atau Pemkot Pekalongan. Pemilik Mafahtek, Malul Akbar mengaku saat ini usahanya sudah tidak mempunytai oder lagi, sehingga terpaksa "merumahkan" sebagian karyawannya. Karyawan yang di rumahkan berpikir lain, jika perusahaan tetap akan "merumahkan" buruhnya, maka mereka akan menuntut uang pesangon sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Nasional (PUK SPN) PT Mafahtex Sugeng Slamet, selama di rumahkan pihak perusahaan berjanji akan membayar upah buruh Mahatex sebesar 50 persen dari upah yang biasa diterima perbulan. Sedangkan bagi 51 pekerja PT Mafahtex yang di PHK akan diberi pesangon di bawah ketentuan UU Ketenagakerjaan dan diangsur selama empat kali, tetapi hingga saat ini baru 50 persen yang diberikan. "Pemilik perusahaan telah ingkar janji dari kesepakatan semula sebab selama pekerja di rumahkan hanya dibayarkan satu kali gaji saja, dan selebihnya tak pernah dibayarkan," katanya. Nasib serupa juga dialami oleh buruh Mafahtex. Upah selama di rumahkan hanya 1,5 bulan saja dan pemberian THR hanya diberikan 50 persen dari jumlah gaji perbulannya. Setelah dilakukan mediasi oleh Wali Kota Pekalongan, Basyir Achmad pada 13 Oktober 2006 disepakati bahwa perusahaan yang melakukan PHK, harus memberikan pesangon kepada karyawan setelah setelah aset perusahaan terjual. Namun sampai sekarang tidak ada realisasinya dari perusahaan untuk menyelesaikan persoalan yang telah disepakati sebelumnya. "Kami menuntut agar hak-hak buruh harus selesai Maret 2007 dan jika pemilik perusahaan tidak mau memenuhi tuntutan ini maka buruh akan menggelar unjuk rasa secara besar-besaran," katanya. Seorang karyawan PT Mafahtex, Rusiyo hanya pasrah dengan nasibnya terkait dengan berhentinya aktivitas perusahaannya. "Saya hanya berdoa saja, semoga pesangon segera dibayarkan mengingat selama ini para karyawan sudah banyak yang menganggur," katanya. Pekerja yang sudah puluhan tahun bekerja di PT Mafahtex ini menambahkan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya terpaksa berkali-kali mengutang ke warung sambil menunggu uang pesangon dibayarkan. "Kami malah sudah lupa berapa utang kepada pemilik warung itu, tetapi saya tetap berjanji akan melunasi ketika uang pesangon dari perusahaan dibayarkan," tandasnya. Sekretaris SPN Kota Pekalongan, Budi Pratomo mengaku sangat prihatin dan berharap pengusaha segera memenuhi kewajiban terhadap para buruh. "Memang persoalan ini sangat dilematis, tetapi kami minta pemilik perusahaan tekstil yang telah mem-PHK atau "merumahkan" karyawannya agar memenuhi kewajibannya terhadap para buruhnya," katanya.(*)
Oleh Oleh Kutnadi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007