Sebagai satu-satunya provinsi yang masih menjadi barometer Indonesia secara keseluruhan tentu Yogyakata harus kita bangun bersama menjadi tetap aman dan toleran."

Yogyakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Gusti Kanjeng Ratu Hemas menggelar rapat dengar pendapat dengan berbagai elemen di Keraton Kilen Yogyakarta, Jumat, untuk memetakan sekaligus mencari solusi masalah intoleransi yang pernah terjadi di daerah itu.

"Sebagai satu-satunya provinsi yang masih menjadi barometer Indonesia secara keseluruhan tentu Yogyakata harus kita bangun bersama menjadi tetap aman dan toleran," kata Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas seusai rapat dengar pendapat dengan tema "Gerakan Intoleransi dan Upaya Mengatasinya" itu.

Pertemuan yang diselenggarakan di Pendopo Keraton Kilen Yogyakarta itu diikuti berbagai elemen masyarakat dan pemerintah, di antaranya perwakilan Pemerintah DIY, pemerintah kabupaten/kota, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DIY serta berbagai pihak yang menyatakan sebagai pendamping korban intoleransi dari Gereja Baptis Indonesia (GBI) Saman, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Palagan, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, serta Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika.

"Dengan adanya pertemuan ini saya kira bisa kita kelompokkan persoalannya untuk kita bahas lebih lanjut," kata dia.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta beberapa waktu lalu telah memetakan persoalan intoleransi yang terjadi di DIY sejak 2011-2015 antara lain larangan melakukan kegiatan sosial pengobatan massal di Sleman, kekerasan terhadap Ketua Forum Lintas Iman Gunung Kidul, tindakan kekerasan dan pembatasan ibadah keliling sesuai tradisi keagamaan umat Katolik Sleman, penolakan Paskah Adiyuswa di Gunung Kidul, dan penyerangan umat katolik di Ngaglik Sleman.

Peristiwa lainnya adalah pelarangan renovasi Gereja Bethel Indonesia Saman, pelarangan izin pendirian GKI Pos Palagan, pelarangan kegiatan sosial Peringatan Paskah oleh Pendeta Stephen Tong di Kridosono, serta penyerangan Kantor Organisasi Rausyan Fikr di Sleman.

Istri Gubernur DIY Sri Sultan HB X itu berharap warga Yogyakarta tetap menjaga toleransi antaragama maupun antarkelompok guna mempertahankan predikat daerah itu sebagai "Kota Toleran". "Masyarakat serta aparat penegak hukum perlu memahami kembali kata toleransi. Toleran bukan hanya masalah agama namun juga mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti gotong royong dan tidak menjadi kelompok-kelompok," kata dia.

Ia berharap aparat kepolisian dapat hadir dalam setiap potensi intoleransi yang ada di tengah masyarakat. "Aparat kepolisian harus memiliki keberanian untuk melindungi masyarakat yang membutuhkan," kata dia.

Perwakilan FKUB DIY Sudiono mengemukakan selama ini persoalan yang masih rentan menyulut konflik antaragama di DIY adalah terkait pendirian rumah ibadah. FKUB DIY, menurut dia, telah berulang kali melakukan koordinasi dengan FKUB kabupaten/kota serta berbagai pihak terkait untuk memecahkan persoalan itu.

Seperti pendirian musholla serta kapel (gereja kecil), menurut dia, FKUB DIY telah membuat rumusan bersama dengan mengacu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat.

"Untuk pendirian itu kita tidak usah menafsiri yang aneh-aneh, PBM itu sudah cukup dibuat untuk mempermudah pelayanan beribadah umat beragama," kata dia.

Kepala Kesbangpol Bantul Agustinus Sumasriana mengatakan peristiwa konflik yang pernah terjadi di Gereja Saman di Sewon, Bantul pada 20 Juli 2015 hanya imbas dari persoalan yang ada di daerah lain yakni di Tolikara, Papua. Perizinan pendirian Gereja Saman yang sempat dipertanyakan kelompok tertentu sebetulnya masih dalam masa pengurusan. "Namun saat peristiwa di Tolikara terjadi, pengurusan izin itu belum selesai," kata dia.

Sementara itu, pimpinan Pondok Pesantren Waria Al-Fattah Yogyakarta Shinta Ratri yang juga hadir dalam kesempatan itu berharap kembali dapat menggelar kegiatan bimbingan belajar keagaman untuk para waria setelah sebelumnya ia terpaksa menutup ponpes yang didirikan di kediamannya beberapa bulan lalu karena desakan dari kelompok tertentu.

"Kami ingin bisa belajar lagi di rumah saya karena paling strategis di DIY," kata dia.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016