Jakarta (ANTARA News) - Yayasan Supersemar yang didirikan Presiden ke-2 RI almarhum Soeharto (Pak Harto) pada 1974 berkomitmen untuk terus memberikan beasiswa kepada para mahasiswa dan pelajar sebagai perwujudan dukungan bagi kemajuan pendidikan generasi muda di Tanah Air.
Beasiswa tersebut diberikan kepada para mahasiswa dari golongan masyarakat yang kurang mampu di bidang ekonomi, tetapi berprestasi tinggi dalam studi, selain juga diberikan kepada para siswa Sekolah Menengah Kejuruan.
Tidak lama setelah pendirian Yayasan Supersemar, Pak Harto memandang pemerintah masih belum mampu membiayai sepenuhnya upaya mencerdaskan bangsa sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Maka kemudian digalang pengumpulan dana melalui Yayasan Supersemar yang dikhususkan untuk pemberian beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa.
Pasal 5 Anggaran Dasar Yayasan Supersemar menyatakan, kekayaan yayasan pertama kali terdiri dari uang pangkal kekayaan yayasan sebesar Rp.10.000.000, diperoleh dari sebagian kekayaan pendiri yang disisihkan dan selanjutnya dapat ditambah dengan hasil dari sumber lain.
Sumber-sumber lain keuangan yayasan diperoleh dari sumbangan yang diterima dari bank pemerintah serta dari badan-badan swasta lainnya yang sah dan tidak mengikat, dari hibah wasiat dan hibah-hibah biasa, serta dari pendapatan lain yang sah dan diperkenankan oleh hukum.
Sementara itu dalam Pasal 3 Yayasan Supersemar, tentang asas dan tujuan yayasan, dinyatakan bahwa yayasan ini berasaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 serta bersifat sosial.
Adapun maksud dan tujuan yayasan adalah membantu/membina para siswa/mahasiswa yang cukup cakap, tetapi tidak dapat melanjutkan pelajarannya karena kesulitan dalam pembiayaan.
Di sisi lain, PP No.63 Tahun 2008 menyatakan, kekayaan Yayasan Supersemar yang berasal dari bantuan negara yang diberikan sebagai hibah, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat yang diterima sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini menjadi kekayaan Yayasan.
Dari fakta ini, akal sehat kita bisa bertanya, apa yang salah dengan Yayasan Supersemar sehinggga Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan vonis denda berlipat-lipat?
Belum lama ini Yayasan Supersemar diharuskan membayar denda sebesar Rp4,4 triliun kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sementara jumlah aset yayasan hanya Rp389 miliar. Jumlah itu mengacu pada hasil penelusuran aset yang dilakukan Kejaksaan Agung di tahun 2000.
Berdasarkan salinan putusan MA, Yayasan Supersemar diputus bersalah karena sempat menyalurkan dana yang bersumber dari CSR sejumlah BUMN ke sebuah bank dan tujuh perusahaan. Bank yang sempat menerima dana dari Yayasan Supersemar adalah Bank Duta.
Pada Putusan MA Nomor 2896 K/Pdt/2009 disebutkan, Bank Duta sempat menerima uang sejumlah US$420 juta. Yayasan Supersemar juga tercatat pernah memberi dana sebesar Rp13 miliar kepada PT Sempati Air, sebuah maskapai yang kini sudah bangkrut.
Selain itu, Supersemar sempat menyalurkan dana sebanyak Rp150 miliar ke PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti serta memberikan dana Rp12 miliar kepada PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri.
Terakhir, MA menyebut Yayasan Supersemar bersalah karena pernah memberi uang sejumlah Rp10 miliar ke Kelompok Usaha Kosgoro pada akhir 1993.
Atas semua itu, Yayasan Supersemar divonis bersalah oleh PN Jakarta Selatan pada 28 Maret 2008. Putusan PN Jakarta Selatan itu dikuatkan dengan vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada tingkat banding pada 19 Februari 2009.
Tetapi dalam putusan itu tertulis denda yang harus dibayar Supersemar adalah 75 persen dari Rp185 juta. Padahal yayasan itu seharusnya membayar 75 persen dari Rp185 miliar, atau Rp 139 miliar kepada negara.
Atas kasasi itu, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) pada September 2013 yang diikuti PK Yayasan Supersemar. MA akhirnya mengabulkan PK negara dan menolak PK Supersemar sehingga Yayasan Supersemar mesti membayar denda sebesar Rp4,4 triliun lebih.
Yayasan Supersemar didakwa telah menyalahgunakan dana untuk peruntukan lain dengan memberi dana ke sejumlah perusahaan. Dakwaan ini mengabaikan fakta bahwa dana tersebut bukan disumbangkan, tetapi merupakan investasi agar uang berputar sehingga kemampuan yayasan untuk memberi beasiswa dapat terus berlanjut.
Upaya itu tidak menyimpang dari AD Yayasan Supersemar sebagaimana didakwakan, karena dalam pasal 3 Ayat (2) b AD yayasan menyatakan bahwa tujuan yayasan adalah juga untuk kegiatan lain-lain bagi kepentingan pendidikan.
Putusan MA itu terasa janggal mengingat tidak adanya dana yayasan yang diselewengkan. Bahkan dengan kreativitasnya bisa memberi beasiswa melebihi dana CSR yang bisa dihimpun melalui rezim PP No.15/1976.
Yayasan Supersemar telah memberi beasiswa kepada lebih dari dua juta lebih peserta didik, sebuah yayasan yang bersifat nasionalis tanpa ikatan. Keberadaannya jelas masih sangat diperlukan.
Kemudian, dengan adanya pemblokiran terhadap rekening yayasan per 8 Desember 2015, praktis yayasan tidak mampu lagi menyalurkan bantuan beasiswa.
Pada 2016 ini saja setidaknya terdapat 7.000 penerima beasiswa Supersemar S1, S2 dan S3 yang kehilangan haknya. Bantuan yang terhenti ini berdampak serius akan kelangsungan studi dalam menyelesaikan kuliah/sekolahnya.
Kami menghormati putusan pengadilan dan proses hukum yang berjalan. Namun memblokir rekening Yayasan Supersemar sama artinya membunuh upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UUD 1945.
Sehubungan dengan itu Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) atas nama para mahasiswa penerima beasiswa Supersemar seluruh Indonesia menyatakan tidak dapat menerima eksekusi Yayasan Supersemar.
Tetapi KMA-PBS menghormati proses hukum yang berjalan. Hanya saja tetap mengajukan permohonan kepada Presiden RI Joko Widodo untuk membuka blokir rekening agar pemberian bantuan/beasiswa Supersemar kepada para mahasiswa dan pelajar yang tidak mampu secara ekonomi namun berprestasi akademis tinggi tetap dapat dilanjutkan.
*) Penulis adalah Wakil Sekjen Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS)
(T.A041)
Oleh Ir Agus Riyanto, MT*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016