Washington (ANTARA News) - Pada Hari Perempuan Dunia tanggal 8 Maret, Dr Siti Musdah Mulia di kantor kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington, menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice.
Siti Musdah satu-satunya penerima penghargaan tersebut dari kawasan Asia Pasifik. Selain ia, sembilan perempuan lain dari berbagai negara di dunia menerima penghargaan serupa, yaitu Zimbabwe, Latvia, Arab Saudi, Argentina, Maladewa, dua orang dari Afganistan, dan dua dari Irak.
Penghargaan tahunan tersebut pertama kali diberikan pemerintah Amerika Serikat kepada perempuan dunia, yang dianggap berani membuat perubahan demi kemajuan perempuan di negaranya.
Perempuan terpilih itu disaring kedutaan Amerika Serikat di seluruh dunia. Dari 100 nama diusulkan, terpilih 10 perempuan dari berbagai latar belakang, seperti, akademisi, dokter, wartawan, politisi, serta aktivis.
Dalam pidato sambutannya, Condoleezza Rice mengatakan, perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan jender tidak mudah. Negara demokrasi, seperti, Amerika Serikat pun, membutuhkan waktu lebih dari 130 tahun untuk memberikan hak pilih bagi perempuan.
Musdah mengaku terkejut ketika kedutaan Amerika Serikat di Jakarta menghubunginya mengenai kabar itu. "Saya hanya diberi waktu satu hari untuk mengurus visa dan berbenah sebelum terbang ke Amerika," kata Musdah kepada ANTARA di Washington DC, sesaat sebelum menerima penghargaan itu dari Rice.
Musdah terpilih atas upayanya menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama melalui pembaruan hukum Islam, termasuk undang-undang perkawinan. Ia mengusulkan sejumlah perubahan, di antaranya kesetaraan kedudukan suami dan istri, melarang perkawinan anak-anak, perkawinan bawah tangan, poligami dan mengharuskan semua perkawinan dicatat.
"Saya hanya ingin mengembalikan prinsip Islam, yang humanis dan ramah terhadap perempuan," kata Musdah menjelaskan.
Musdah adalah perempuan Indonesia pertama meraih gelar doktor di bidang pemikiran politik Islam. Selain menjadi dosen di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Musdah adalah staf ahli di Departemen Agama.
Pada tahun 2004, Musdah bersama 10 pakar di bidang ilmu tafsir, hadits, kitab klasik dan perundang-undangan mengajukan rancangan tandingan hukum untuk melawan Kompilasi Hukum Islam, yang menyangkut undang-undang perkawinan, waris dan wakaf. Upayanya ditolak parlemen dan sejumlah kalangan, yang berujung pada penghentian proyek tersebut oleh menteri agama.
Ibu dua putera itu kerap mendapat ancaman dari sekelompok orang, namun perempuan 49 tahun tersebut terus menyuarakan upayanya dalam memperjuangkan persamaan hak perempuan.
"Pemahaman saya sering dicap terlalu kebarat-baratan dan saya tidak akan terkejut, sekembali dari Amerika Serikat, saya akan dicap sebagai antek Amerika," kata Musdah, yang tetap meyakini dirinya nasionalis sejati dan hanya ingin memperjuangkan hak kaumnya melalui pemahaman Islam, yang --menurut dia-- benar.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007