Palu (ANTARA News) - Sejumlah tokoh masyarakat Banggai Kepulauan (Bangkep), Sulawesi Tengah, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar turun tangan menyelesaikan insiden berdarah di kota Banggai pada 28 Februari lalu, sebab ada kesan penyelesaian kasus tersebut dewasa ini hanya menyalahkan rakyat. "Ini sebuah ketidakadilan, sebab faktanya justru banyak warga sipil yang menjadi korban (tewas dan cedera)," kata Arifin Musa SH, tokoh masyarakat Bangkep di Palu, Kamis. Menurut mantan ketua Asosiasi Advokad Indonesia Cabang Palu tersebut, dewasa ini ada semacam pengalihan perhatian bahwa insiden di Banggai itu seolah-olah rakyat yang bersalah karena menyerang aparat keamanan, dan kasus penembakan terhadap warga sipil ditenggelamkan. Buktinya, beberapa pemuda yang berorasi saat berlangsungnya unjukrasa ribuan penduduk di depan Mapolsek Banggai ketika itu justru dijadikan tersangka dengan tuduhan sebagai provokator. "Saya kira tindakan ini sangat berlebihan sebab rakyat di sana yang menjadi korban dari tindakan represif aparat, tetapi kembali mereka diperlakukan secara sewenang-wenang," tuturnya. Musa menjelaskan bahwa aksi "pengepungan" yang dilakukan lebih 10 ribu massa rakyat terhadap Kantor Polsek Banggai ketika itu bukan bertujuan untuk menyerang. "Mereka hanya melakukan tekanan agar Kapolres (AKBP Drs M. Nazly) segera menarik pasukan non-organik yang baru tiba dari Luwuk (ibukota Kabupaten Banggai) pada pagi harinya, karena dinilai akan memburuk situasi keamanan di daerah mereka karena rakyat sedang marah besar, namun diabaikan," kata dia. Tekanan yang dilakukan massa rakyat tersebut dikarenakan saat berlangsung negosiasi dengan perwakilan mereka, Kapolres Nazly tetap bersikeras mempertahankan pasukan nonorganik yang ditugaskan untuk membebaskan semua perkatoran di Banggai yang disegel oleh rakyat. "Perlu saya tegaskan bahwa aksi ribuan massa di Banggai hingga berbuntut pada penyerangan Kantor Polsek tidak berdiri sendiri, tetapi karena pola pendekatan yang dilakukan aparat kepolisian di sana lebih mengedepankan pendekatan kekuasaan," ujarnya. Juga, lanjut dia, aksi itu merupakan letupan aspirasi masyarakat yang merasa kecewa berat, menyusul adanya pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan pejabat daerah untuk segera memindahkan ibukota Kabupaten Bangkep dari Banggai ke Salakan. "Untuk diketahui bahwa aksi unjukrasa yang ditempuh massa rakyat sesuatu yang wajar di Orde Reformasi. Apalagi mereka mempertahankan ibukota kabupaten tetap di Banggai memiliki dasar hukum sangat kuat, yakni belum dicabutnya Pasal 10 UU No.51 Tahun 1999 beserta bab dan peta penjelasannya," kata dia. Dibawa ke pengadilan Ketika ditanya soal bentuk campur tangan Presiden dalam menyelesaian insiden Banggai, Musa mengatakan beliau sebagai kepala pemerintahan memiliki kewenangan memerintahkan Kapolri mengirimkan tim khusus yang independen untuk melalukan investigasi di lapangan, selain oleh Komnas HAM sendiri sebagai lembaga negara yang ditugaskan mengusut kasus yang teridikasi adanya pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. "Saya kira pengiriman tim independen itu merupakan sebuah keharusan untuk menyelesaikan aksi kekerasan tersebut secara obyektif hingga ke pengadilan, apalagi banyak korban yang tewas dan cedera diakibatkan terkena peluru senjata api yang dimuntahkan aparat," tuturnya. Sebelumnya, Ketua Forum Monpodulian Banggai Bersatu, Ahmad Buluan, meminta pemerintah di daerahnya tidak begitu saja melempar tanggungjawab soal insiden kekerasan aparat terhadap warga sipil di kota Banggai (kini masih ibukota Kabupaten Bangkep) beberapa hari lalu, dengan semata-mata menyalahkan rakyat di daerahnya seperti menangkap sejumlah orang dengan tuduhan sebagai provokator. "Tolong selidiki faktanya di lapangan, kenapa sampai terjadi demikian dan bagaimana massa rakyat yang melakukan aksi unjukrasa diperlakukan ketika itu hingga kemudian menjadi beringas," kata dia, ketika dihubungi di Banggai, seraya meminta perhatian Presiden dan Kapolri untuk menyelesaikan tragedi Banggai secara adil. Tragedi Banggai yang terjadi menyusul aksi saling serang antara pasukan polisi yang menggunakan senjata api dengan ribuan massa rakyat yang membawa batu tersebut, mengakibatkan empat warga sipil tewas serta belasan lainnya cedera. Sebagian besar korban tersebut akibat terkena peluru senjata api. Insiden pada 28 Februari 2007 itu juga mengakibatkan sekitar 10 aparat polisi dan prajurit TNI mengalami luka-luka akibat terkena lemparan batu dari massa. (*)
Copyright © ANTARA 2007