Jakarta (ANTARA News) - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan indikasi penyimpangan keuangan negara sebesar Rp18 triliun dalam biaya pemulihan (cost recovery) dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia, selama periode 2002-2005. "Dari Rp18 triliun itu, hampir separuhnya sudah diklarifikasi oleh perusahaan migas, sehingga yang masih belum jelas sekitar Rp9 triliun," ungkap Kepala BPKP, Didi Widayadi, saat berbicara dalam seminar "Tingginya Cost Recovery Siapa yang Diuntungkan", di Jakarta, Rabu. Menurut Didi, laporan hasil audit BPKP itu sudah disampaikan kepada Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), selaku pengawas operator migas di Indonesia. Sesuai dengan mekanisme yang sudah ditentukan paling lambat dua tahun sejak audit selesai, BP Migas harus segera menindaklanjuti hasil audit BPKP tersebut. "Jika dalam jangka waktu itu tidak ada tindaklanjut atau klarifikasi, maka BPKP berhak untuk mengumumkan kepada publik," katanya. Didi mengingatkan hasil temuan tersebut tidak otomatis mengindikasikan adanya korupsi dalam kegiatan cost recovery industri migas di Indonesia, mengingat itu baru hasil dari audit finansial. Setelah audit finansial, masih ada tahapan audit investigasi. "Jika dari audit investigasi terbukti ada unsur kriminal, maka tentunya BPKP dan BP Migas akan menindaklanjutinya ke aparat hukum, dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian atau kejaksaan," katanya. Langkah tersebut, menurut Didi, perlu dilakukan demi menyelamatkan keuangan negara dan efek jera kepada pelaku kriminal di sektor migas. "Terlebih hingga sekarang, penanganan tindaklanjut dari temuan BPKP sangat lambat," katanya. Untuk meningkatkan efisiensi kegiatan industri migas di Indonesia, kegiatan audit BPKP di tahun-tahun mendatang tidak hanya terbatas pada masalah keuangan, tetapi juga kinerja (performance) perusahaan secara keseluruhan, tambah Didi Widayadi. Kepala BP Migas, Kardaya Warnika, mengatakan hasil temuan BPKP itu sifatnya masih berupa temuan awal, sehingga butuh penyelidikan lanjutan. "Hasil temuan BPKP tersebut masih perlu diklarifikasi dan setelah itu dilakukan audit final," katanya. Dari hasil temuan final juga masih harus dilihat apakah ada unsur kerugian negara. "Jika ada unsur kerugian, maka perusahaan bersangkutan harus mengembalikan kepada negara. Jika tidak mau juga baru ditangkap," katanya. Pengawasan lemah Menurut pengamat perminyakan dan gas bumi Dr. Kurtubi, hasil temuan BPKP itu menunjukkan lemahnya pengawasan penggunaan uang negara dalam industri migas di Indonesia. Ia mengatakan BP Migas selama ini bertindak sendiri mulai dari perencanaan, persetujuan investasi hingga pengawasan. "Sementara BP Migas sendiri tidak ada yang mengontrol," katanya. Oleh karena itu, Kurtubi mendesak pemerintah dan DPR agar merevisi UU Migas sehingga masalah pengawasan dalam industri migas bisa lebih baik dari sekarang. Ia sangat setuju untuk membawa kasus temuan BPKP tersebut ke aparat penegak hukum, karena diyakini dari triliunan rupiah yang diselewengkan, pasti ada yang masuk kategori kriminal. Hal itu sekaligus untuk memberikan efek jera kepada para pelakunya dan sejalan dengan tekad pemerintah untuk memberantas korupsi, kata Kurtubi. (*)
Copyright © ANTARA 2007