"Untuk mencegah penyebaran ide-ide paham radikal ke sesama tahanan," kata Komjen Anang Iskandar di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, pengklasifikasian narapidana kasus terorisme dengan narapidana lainnya, membuat program deradikalisasi di Lapas bisa efektif dan efisien.
Anang menjabarkan tiga klasifikasi narapidana teroris, yakni lapisan pertama adalah spiritual leader alias pemimpin atau ideolog, lapisan kedua adalah komandan lapangannya, dan lapisan terakhir yakni anak buah atau foot soldier.
"Field commander (komandan lapangan) ini yang menjadi pimpinan dari kelompok kecil. Dia pelatih dalam pelatihan bersenjata," kata Anang.
Saat ini ada 201 napi teroris di Lapas-Lapas seluruh Indonesia.
"Dari keseluruhan mantan napi teroris yang berada di lembaga pemasyarakatan, 40 orangnya mengikuti program deradikalisasi. Tapi kemudian, 31 orang justru mengulangi kejahatan teror," ujar Anang.
Dia juga menyoroti keadaan para napi setelah menjalani hukuman di Lapas.
"Jika program deradikalisasi di dalam penjara gagal maka program pasca penjara, yakni saat terpidana teroris itu bebas, akan jauh lebih buruk lagi," kata Anang.
Ia menilai seharusnya program deradikalisasi adalah bagian dari sistem peradilan pidana dan politik, selain harus dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi antara rehabilitasi psikologi dan sosial sehingga hasilnya akan lebih efektif dibanding bila hanya menerapkan dengan dialog keagamaan.
Kabareskrim juga menilai perlu perumusan standar keberhasilan program deradikalisasi bagi terdakwa, napi, mantan napi dan keluarga mantan teroris yang telah mengikuti program deradikalisasi.
"Semua karena perang melawan teroris tidak hanya bisa dimenangkan dengan hanya menangkap atau membunuh teroris, mengumpulkan data intelijen, atau menjaga perbatasan saja. Perang melawan teroris juga harus diimbangi dengan perang gagasan yang menjadi sumber kekerasan dari akar terorisme itu sendiri," imbuh Anang.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016