"Turunnya harga BBM seharusnya diikuti dengan perbaikan kualitas bahan bakar itu. Jadikan momen turunnya harga BBM untuk memperbanyak volume bahan bakar itu dengan RON yang lebih tinggi," kata Tulus di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan Indonesia perlu belajar dari Malaysia. Negeri Jiran itu memasok BBM di dalam negeri dengan RON 95. Sedangkan di Indonesia lebih dari 85 persen masih dipasok dengan BBM dengan RON 88 (premium), sementara standar minimal Euro adalah Euro 2 dengan RON 92.
Di luar pulau Jawa, kata dia, persoalannya bukan hanya tentang harga saja, tetapi juga rantai distribusi yang panjang karena minimnya infrastruktur, misalnya pompa bensin SPBU.
"Pemerintah jangan hanya menurunkan harga BBM saja, tanpa ada upaya serius untuk memperbaiki rantai distribusi BBM, khususnya di luar pulau Jawa," katanya.
Akibatnya, kata dia, masyarakat di luar Pulau Jawa, terutama di kawasan jauh, masih membeli BBM jauh di atas harga resmi.
Turunnya harga BBM, kata dia, juga mesti dijadikan momen untuk meningkatkan cadangan volume BBM yang saat ini hanya cukup 19 hari.
"Bandingkan dengan negara-negara ASEAN, termasuk Myanmar, yang cadangan BBM-nya cukup untuk tiga bulan. Bahkan Jepang dan Korea cadangan BBM-nya cukup untuk empat bulan," kata dia.
Dia mengharapkan pemerintah untuk meningkatkan cadangan BBM minimal untuk 30 hari. Pemerintah harus secara serius membangun tangki timbun untuk memperbanyak/menyimpan cadangan.
"Pemerintah juga harus konsisten memonitor turunnya harga kebutuhan pokok di sisi retailer. Jika harga BBM turun, tetapi harga komoditas bahan pangan tidak turun, patut diduga ada perilaku nakal dari para pelaku pasar, seperti praktik monopoli. Pemerintah harus memberi sanksi tegas bagi pelaku pasar yang nakal itu," katanya.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016