... Indonesia harus melakukan tindakan tegas dalam hal ini, karena China percaya bahwa mereka punya suatu hak, bukan berarti mereka bisa melanggar kedaulatan suatu negara...
Jakarta (ANTARA News) - Pakar kemaritiman dari Pusat Studi Kebijakan Maritim China Universitas Naval War, Boston, Amerika Serikat, Peter Dutton, mengatakan, Indonesia harus bersikap tegas dalam menanggapi klaim "wilayah penangkapan ikan tradisional" China.
Pernyataan tersebut disampaikan Dutton dalam telekonferensi di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Rabu, untuk menanggapi tindakan militer China yang menabrak dan merampas barang bukti kapal ikan ilegal berbendera China yang tertangkap patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan saat menangkap ikan secara ilegal di perairan Natuna.
Hubungan dan kerja sama ekonomi Indonesia dan China sedang dalam pasang tertinggi di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ada beberapa proyek melibatkan China secara unilateral yang mendapat "jalan tol" saat ini, di antaranya pembangunan jaringan kereta cepat Jakarta-Bandung.
Pada sisi lain, Indonesia dan China sama-sama menandatangani UNCLOS 1982 pada tanggal yang sama, yaitu 10 Oktober 1982, dan konvensi PBB itu tidak pernah mengenal apalagi mengakui istilah "zona penangkapan ikan tradisional" alias traditional fishing ground, melainkan traditional fishing rights sebagaimana pasal 51 UNCLOS.
Hal ini mengacu pada pembedaan pengertian kata soverignty (kedaulatan dalam pengertian kedaulatan atas laut teritorial) dengan kata soverign right (hak mengeksploitasi oleh negara pantai pada ZEE dan landas kontinen).
Sejak lama China mengajukan klaim Sembilan Garis Putus-putus (ada yang menyebut hingga 10 bahkan 11 garis) di Laut China Selatan sebagai laut teritorial mereka.
Sejak masa Menteri Luar Negeri, Ali Alatas, memimpin Departemen Luar Negeri (saat itu), China tidak pernah menjelaskan batas-batas itu secara persis, walau Indonesia menanyakan hal itu secara resmi.
Juga China tidak pernah menyatakan Indonesia sebagai salah satu negara pengklaim wilayah laut teritorial di Laut China Selatan.
"Indonesia harus melakukan tindakan tegas dalam hal ini, karena China percaya bahwa mereka punya suatu hak, bukan berarti mereka bisa melanggar kedaulatan suatu negara," kata dia.
Dutton mengaku telah mengikuti insiden Natuna dari dekat sehingga dapat mengomentari dengan cukup pasti bahwa China melakukan tindakan itu di wilayah penangkapan ikan tradisional mereka.
"Padahal, klaim mereka sama sekali tidak masuk akal dan tidak ada dasar hukumnya," kata dia.
Menurut Dutton, sejak UNCLOS 1982, semua pihak telah menyepakati ZEE tiap-tiap negara dan perairan internasional yang terbuka bagi semua pihak.
"Berkat konvensi itu semua negara memiliki ZEE di mana negara lain tidak bisa menangkap ikan di sana, tetapi bisa dilakukan di perairan terbuka, dan ini sudah disepakati hampir 35 tahun yang lalu," kata dia.
Dutton menambahkan bahwa konvensi itu membuat klaim-klaim berdasarkan catatan sejarah atau tradisional menjadi tidak relevan lagi.
Pada Sabtu (19/3), kapal pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Hiu 11 mendeteksi pergerakan kapal ikan China, Kway Fey 10078, di perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Kapal Kway Fey 10078 tercatat berada di sekitar koordinat 5 derajat lintang utara dan 109 derajat bujur timur yang merupakan kawasan ZEE Indonesia.
Akibat pelanggaran tersebut, Hiu 11 mulai mengejar sambil melepaskan tembakan peringatan, tetapi kapal Kway Fey melarikan diri antara lain dengan melakukan manuver zig-zag.
Sekitar pukul 15.00 WIB, kapal berbendera China tersebut berhasil dihentikan dan petugas KKP segera menuju kapal Kway Fey untuk mengamankan delapan awak buah kapal.
Namun, saat KM Kway Fey 10078 akan dibawa petugas KKP, tiba-tiba datang kapal Penjaga Pantai China yang datang mendekat lalu menabrak Kway Fey, dengan dugaan agar kapal ikan asal Tiongkok tersebut tidak bisa dibawa ke daratan Indonesia.
Penjaga Pantai, di banyak negara, bukanlah kekuatan militer melainkan paramiliter yang dibolehkan memakai persenjataan dalam limit tertentu untuk kepentingan internal negara bersangkutan di perairan teritorial mereka, bukan sampai ke ZEE negara lain.
Untuk menghindari konflik, petugas KKP meninggalkan Kway Fey dan kembali ke KP Hiu 11 dan hanya berhasil membawa delapan ABK.
Pewarta: Azizah Fitriyanti
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016