Jakarta (ANTARA News) - Suasana duka mendalam kembali menyelimuti jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI). Helikopter TNI Angkatan Darat jenis Bell 412 EP jatuh di Kelurahan Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Minggu, 20 Maret 2016 sekitar pukul 17.55 WITA.
Peristiwa memilukan tersebut menewaskan 13 kru dan penumpangnya yang seluruhnya adalah anggota TNI. Mereka gugur saat melakukan tugas operasi Tinombala di Poso.
Mereka yang gugur dalam peristiwa tersebut adalah Danrem Tadulako Kol Inf Syaiful Anwar, Kol Inf Ontang Roma (perwira Badan Intelijen Negara), Kol Inf Herry Setiaji (perwira Badan Intelijen Strategis/Bais), Komandan Detasemen Polisi Milter (Dandenpom) Palu Letkol CPM Teddy Alex, Kepala Penerangan Korem Tadulako Mayor Faqih Rasyid dan dokter Korem Kapten CKM Yanto.
Selain itu, Prada Kiki dan enam orang kru yakni pilot Kapten Cpn Agung, kopilot Letty Cpn Wiradi, dan kopilot Letda Cpn Tito, dua orang mekanik Sertu Bagus R dan Serda Karmin serta Avionic Pratu Bangkit ikut gugur.
Ke-13 anggota TNI yang gugur dalam tugas itu pun mendapatkan kenaikan pangkat anumerta setingkat lebih tinggi dan tanda jasa Bintang Bhayangkara Nararya.
Sejumlah spekulasi mengenai jatuhnya helikopter itu pun sempat bermunculan, seperti kemungkinan serangan teroris. Namun, Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti menyatakan jatuhnya helikopter milik TNI AD itu bukan disebabkan oleh serangan teroris kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
"Kalau serangan (teroris) dipastikan tidak ada, karena itu (lokasi kejadian) bukan daerah rawan, tapi pemukiman dekat bandara," kata Kapolri.
Pernyataan Kapolri tersebut diperkuat Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Tatang Sulaiman yang mengungkapkan penyebab jatuhnya helikopter milik TNI AD jenis Bell 412 EP dengan nomor penerbangan HA 5171 karena faktor cuaca.
"Penyebab kecelakaan sementara diduga karena faktor cuaca. Namun demikian hingga saat ini, penyebab jatuhnya Helikopter tersebut masih dalam tahap penyelidikan," katanya.
Dia menambahkan ke-13 anggota TNI yang gugur itu tengah melaksanakan operasi perbantuan Polri dalam Operasi Tinombala di Poso Pesisir Selatan, Kabupaten Poso, untuk menangkap kelompok Santoso.
Kronologis kejadian pada pukul 17.20 Wita helikopter berangkat dari Desa Watutau Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso menuju Kota Poso, namun sekitar pukul 17.55 WITA, helikopter yang berpenumpang 13 orang itu jatuh di atas perkebunan di Kelurahan Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Ada pula dugaan bahwa penyebab kecelakaan karena helikopter naas itu tersambar petir. Namun kepastian penyebab jatuhnya helikopter itu masih menunggu hasil investigasi lengkap yang dilakukan pihak TNI.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo turut memberikan penghormatan terakhir kepada para korban jatuhnya helikopter Bell 412 EP bersama sejumlah pejabat termasuk para menteri di hanggar Skuadron 17 Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma Jakarta, pada Selasa (22/3), sebelum dimakamkan.
Sedangkan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dan Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti menghadiri pemakaman militer 13 jenazah korban kecelakaan helikopter TNI AD jenis Helly Bell 412 di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (22/3).
Kecelakaan Alutsista
Peristiwa jatuhnya helikopter Bell 412 EP milik TNI AD di Poso itu tentu saja menambah daftar panjang rentetan kecelakaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) di Indonesia.
Belum lama berselang, tepatnya 10 Februari 2016, publik juga dikejutkan dengan jatuhnya pesawat Super Tucano milik TNI AU di Malang, Jawa Timur.
Sebelumnya pesawat T-50i Golden Eagle milik TNI AU juga jatuh di Yogyakarta pada Desember 2015.
Berdasarkan catatan yang dihimpun dari berbagai sumber, sejumlah kecelakaan alutsista TNI pernah terjadi di Tanah Air. Pada 12 Juni 2009, kecelakaan helikopter Puma H3306 milik TNI AU di Lapangan Udara Atang Senjaya, Bogor, Jawa Barat, menewaskan dua tentara mekanik, sedangkan pilot Mayor (pnb) Sobic Fanani dan kopilot Lettu Wisnu, serta tiga anggota TNI lainnya mengalami luka-luka.
Pada 8 Juni 2009, helikopter TNI Angkatan Darat jenis Bolkow BO105 buatan PT Dirgantara Indonesia jatuh di Kampung Cibuni, Rawa Beber, Pagelaran, Cianjur.
Tiga awak dan penumpangnya, termasuk Kolonel Ricky Samuel, Komandan Pusat Pendidikan (Danpusdik) Kopassus tewas. Sedangkan 1 awak dan 1 penumpang lainnya mengalami luka-luka.
Pada 11 Maret 2008, helikopter latih TNI AU jenis Bell-47G Solo buatan tahun 1976 jatuh di ladang tebu Desa Wanasari, Subang, Jawa Barat. Satu orang tewas yakni Lettu Engky Saputra Jaya.
Pada 7 Januari 2008, helikopter berjenis Twinpack S 58 T Twinpack H-3406 jatuh setelah mesin mati di daerah Riau. Seorang warga negara Singapura, Robert Candra, tewas akibat peristiwa itu, sementara 9 penumpang lainnya mengalami luka serius.
Pada 23 Desember 2004, helikopter Super Puma TNI AU jatuh di Desa Surgede Kecamatan Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah. Sebanyak 14 orang tewas termasuk instruktur penerbangan di sekolah penerbangan Lanud Adisucipto.
Pada 22 Desember 2004, helikopter jatuh di Nabire, Papua. Jatuhnya helikopter milik TNI AL itu menewaskan lima orang yaitu pilot Kapten AL Nofi, kopilot Letnan Satu Putu, satu orang mekanik Sersan Satu Pidiono, dan dua penumpang warga sipil yakni Noviko Goya dan Mayu.
Gugurnya para prajurit TNI dalam setiap kecelakaan bukan hanya menimbulkan duka yang mendalam bagi keluarga korban, melainkan juga membuat bangsa Indonesia kehilangan putra-putri terbaiknya.
Meski penyebab kecelakaan alutsista TNI berbeda-beda, namun berbagai kecelakaan itu seharusnya bisa dijadikan dasar untuk mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola alutsista TNI di Tanah Air.
Membenahi Alutista
Sebenarnya, Kementerian Pertahanan sudah memetakan kondisi alutsista di Indonesia pada 2007 lalu, yang menyebutkan sekitar 30 persen hingga 50 persen kondisi alutsista TNI dinyatakan tidak layak untuk digunakan.
Oleh karena itu, upaya untuk modernisasi alutsista dilakukan pemerintah melalui program yang dikenal luas dengan minimum essential forces (MEF).
Program pembangunan kapabilitas alutsista di Indonesia dirancang dalam tiga tahap yakni MEF pada 2010-2014, essential forces pada 2015-2019, dan optimum forces pada 2020-2025.
Saat ini tahap pertama telah selesai dilakukan dengan realisasi Rp122,2 triliun, atau mencapai target sebesar 74,98 persen. Untuk tahap kedua dan ketiga, direncanakan akan dialokasikan sekitar Rp157,5 triliun.
Namun, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa pada RPJMN telah disusun sekitar Rp293,5 triliun untuk anggaran tahap kedua, berdasarkan sejumlah penyesuaian.
Direktur Imparsial Al Araf mengkritik pengadaan alutsista di masa lalu yang kerap diwarnai pembelian alutsista bekas, padahal jelas terdapat kecenderungan bahwa pengadaan alutsista bekas selalu memiliki potensi bermasalah yang lebih besar.
Dia pun menyarankan perlunya peran lembaga-lembaga pengawas independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun ke lapangan melakukan investigasi penggunaan anggaran pertahanan, atau lebih khususnya pengadaan alutsista.
Menurut dia, keinginan membangun transparansi dan akuntabilitas di sektor pertahanan dengan melibatkan lembaga seperti KPK bukanlah tanpa maksud.
Hal itu sepenuhnya ditujukan agar modernisasi persenjataan berjalan dalam jalur yang benar dan bebas dari dugaan-dugaan penyimpangan sehingga para prajurit dapat benar-benar menggunakan alutsista yang modern dan aman.
Setelah melakukan evaluasi, pemerintah perlu agaknya merumuskan kebijakan yang komprehensif untuk memperbaiki sistem pengadaan alutsista.
Di sisi lain, setiap warga negara Indonesia tentu saja akan merasa bangga jika TNI memiliki armada tempur yang besar dan kuat sehingga diperhitungkan oleh negara lain.
Oleh Arief Mujayatno
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016