Jakarta (ANTARA News) - Himpunan Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) menyatakan bahwa industri pengolahan kelapa nasional menghadapi kendala kurangnya bahan baku sejak setahun terakhir.
"Hal ini karena banyaknya bahan baku kelapa yang dijual ke luar negeri baik secara smuggling ataupun legal," kata Vice Chairman HIPKI Amrizal Idroes di Jakarta, Rabu.
"Hal ini karena banyaknya bahan baku kelapa yang dijual ke luar negeri baik secara smuggling ataupun legal," kata Vice Chairman HIPKI Amrizal Idroes di Jakarta, Rabu.
Amrizal mengatakan, pada kondisi normal, produksi kelapa dalam negeri mencapai 15 miliar butir per tahun, namun jumlahnya menurun 30 persen menjadi sekitar 10,5 miliar butir akibat musim kemarau.
Sementara, kebutuhan bahan baku kelapa untuk industri mencapai 7,5 miliar butir per tahun, namun jumlah tersebut belum bisa dipenuhi dari dalam negeri.
"Karena dua tahun terakhir ini terjadi shortage (kekurangan) bahan baku kelapa di dunia, maka yang dari Thailand, Malaysia, Tiongkok, mencari kelapa ke sini," ujar Amrizal.
Untuk itu, ia menyambangi Menteri Perindustrian Saleh Husin untuk mengatasi permasalahan kekurangan bahan baku tersebut.
Amrizal merekomendasikan beberapa hal, di antaranya menghentikan ekspor kelapa ke sejumlah negara baik yang secara legal maupun ilegal, agar dapat diolah di dalam negeri dan menghasilkan nilai tambah.
Selain itu, ia juga merekomendasikan diberlakukannya tarif bea keluar untuk kelapa dan mendaftar secara jelas eksportir kelapa di dalam negeri.
Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan untuk mengamankan bahan baku kelapa yang akan diolah oleh industri nasional.
Mengingat, potensi nilai ekspor olahan kelapa mencapai 1,2 miliar dollar AS, di mana angka tersebut bisa menjadi dua kali lipat apabila ekspor kelapa dihentikan.
Selama ini, lanjut Amrizal, berbagai produk olahan kelapa pangan dan non pangan seperti santan, minyak, nata coco, matras, dieskpor ke sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Eropa.
"Kami berharap hal ini bisa cepat dicarikan solusi agar industri yang ada ini tidak collapse (bangkrut). Karena kalau collapse, akan sangat sulit untuk bangkit lagi," ujar Amrizal.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016