New York (ANTARA News) - Harga minyak bervariasi, Selasa, sehubungan kecemasan pasar atas lemahnya permintaan lebih dominan ketimbang kekhawatiran pasokan di tengah meningkatnya ketegangan geopolitis di kawasan Timur Tengah yang kaya minyak dan perang gas antara Rusia dan Ukraina.
Kontrak utama pasar New York, minyak mentah light sweet untuk penyerahan Pebruari turun 23 sen menjadi 48,58 dolar di bursa New York Mercantile Exchange (NYMEX).
Di London, minyak mentah Brent Laut Utara untuk pengiriman Pebruari naik 91 sen menjadi 50,53 dolar di bursa InterContinental Exchange (ICE).
"Boleh jadi ada aksi ambil untung, didukung oleh statistik ekonomi terakhir yang kurang menggembirakan. Mereka menyoroti lemahnya permintaan, padahal pasar sebelumnya sibuk dengan masalah merosotnya pasokan," kata Antoine Halff, seorang analis pada Newedge Group, kepada AFP.
Data AS memperlihatkan penurunan moderat sektor jasa dan terus menurunnya pesanan industrial.
Harga minyak telah mendapat dorongan di atas 50 dolar per barel dalam perdagangan hari itu, berkat imbas kecemasan pasokan menyusul meningkatnya ketegangan geopolitik, kata para analis.
Kontrak brjangka minyak New York sempat mencapai harga tertinggi harian 50,47 dolar dan Brent melonjak menjadi 52,21 dolar, level yang terakhir terjadi pada 1 Desember.
"Harga minyak membumbung hampir 30 persen sejak akhir 2008, dengan ketegangan geopolitis (Timur Tengah dan Rusia), dan ekspektasi atas pemulihan ekonomi pada 2009, dana lindung kembali pada komoditas dan suhu yang dingin," kata Thierry Lefrancois, ekonomis pada Natixis.
"Konflik di Gaza bukan ancaman yang segera dan langsung terhadap pasokan minyak, namun ketika bencana kemanusiaan itu kian menghebat, maka hal itu akan berdampak secara tak langsung pada pasokan minyak," kata Olivier Jakob, analis pada Petromatrix.
OPEC, yang 12 anggotanya secara bersama menghasilkan 40 persen minyak dunia, bulan lalu sepakat memangkas produksi dengan 2,2 juta barel per hari dalam upaya mendongkrak harga minyak mentah.
Harga minyak telah anjlok sekitar 54 persen pada 2008, sehubungan pelambatan tajam ekonomi global menekan permintaan energi pada paruh kedua 2008. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2009