Transportasi online yang saat ini berkembang merupakan implikasi dari pemerintah tidak dapat menyediakan sarana transportasi umum yang layak dan murah bagi masyarakat,"
Jakarta (ANTARA News) - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai keberadaan transportasi berbasis daring (online) akibat kesemrawutan sistem angkutan massal yang tidak bisa diatasi oleh pemerintah.
"Transportasi online yang saat ini berkembang merupakan implikasi dari pemerintah tidak dapat menyediakan sarana transportasi umum yang layak dan murah bagi masyarakat," kata Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan pemerintah harus hadir dan memberikan solusi bagi kedua belah pihak, yakni penyedia jasa transportasi daring maupun pengusaha kendaraan umum yang resmi.
Menurut Tulus, persaingan transportasi daring dengan angkutan umum tidak seimbang sehingga merugikan pihak angkutan umum karena tarifnya lebih murah.
Angkutan berbasis daring seperti Go-Jek dan Grab Car bertarif lebih murah karena tidak dibebani biaya pajak dan uji KIR, berbeda dengan transportasi umum yang harus membayar berbagai pungutan.
"Bisa tidak transportasi umum dibebaskan bayar pajak sehinga bisa bersaing dengan transportasi online?" ujar Tulus.
Selain mencari solusi bagi kedua pihak, Tulus menekankan pemerintah harus membenahi transportasi massal yang layak dan optimal.
Sementara itu, Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemi Francis akan segera menindaklanjuti persoalan itu dengan cara mensosialisasikan peraturan transportasi umum kepada penyedia jasa angkutan berbasis daring.
Djemi menduga transportasi online melanggar perundang-undangan terkait perizinan seperti penggunaan plat nomor polisi hitam dan penerapan tarif yang tidak melalui mekanisme persetujuan pemerintah dan standar pelayanan minimum yang beragam.
Komisi V DPR RI juga mendesak pemerintah segera bertindak tegas terhadap keberadaan transportasi online termasuk angkutan umum yang tidak layak.
Djemi menghendaki tuntutan masyarakat untuk penyediaan transportasi umum yang murah, efisien dan mudah namun hal itu harus sesuai undang-undang yang berlaku.
Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016