Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Prof Ketut Buda Artana menilai pengembangan Blok Masela di Laut Arafura, Maluku, dengan skema terapung atau "floating liquified natural gas" (FLNG) mewujudkan konsep Nawacita.
"Nawacita menitikberatkan pada sektor kemaritiman dan memulai pembangunan dari pinggiran. FLNG merupakan skema paling sesuai dengan cita-cita pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla itu," katanya di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, pemerintah secara sadar mesti meninggalkan konsep pengembangan infrastruktur berbasis darat atau kontinen yang selama ini dilakukan dan berpindah ke maritim berbasis kepulauan.
"Indonesia merupakan negara maritim, kenapa terus berpikir dengan konsep kontinen," ujarnya.
Buda yang menjabat Wakil Rektor IV ITS menambahkan, skema FLNG, akan mempercepat pengembangan galangan kapal dalam negeri, peningkatan kapabilitas sumber daya galangan, penguatan dermaga, dan "multiplier effect" dari kegiatan "supply chain" lainnya.
Selain itu, skema terapung juga akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan di Kepulauan Maluku dan wilayah Indonesia timur lainnya sebagai representasi membangun dari pinggiran sesuai semangat Nawacita.
Serta, menjadi katalisator pembangunan masyarakat Maluku dan wilayah Indonesia Timur berbasis maritim dan pariwisata bahari.
"Membangun dari pinggiran sesuai konsep Nawacita itu harus memperhatikan potensi dan kebutuhan masyarakat lokal. Jangan jauh dari kemampuan dan potensi lokal, kalau tidak, akan mubazir," kata Buda.
Hal senada dikemukakan Ketua Satuan Tugas Pembangunan Maluku Tenggara Barat Connie Rahakundini Bakrie.
Ia mengatakan pemerintah perlu belajar dari pengalaman buruk sebelumnya yang lebih menitikberatkan pada industri di darat dan jauh dari kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan potensi lokal masyarakat Maluku, sehingga tidak menghasilkan efek rantai yang positif dan berkesinambungan.
Menurut dia, pengembangan Masela tidak boleh semata dilihat dari kepentingan proyek, tetapi harus berbasis "holistic approach" mencakup manusia, ruang hidup, kesejahteraan, keberlangsungan, kemakmuran, dan terjaganya lingkungan daerah.
"Mengapa? Pulau Yamdena ini sangatlah kecil dibandingkan dengan Kalimantan atau Sumatera dan Jawa," katanya.
Connie mengatakan, luas Pulau Yamdena di Kepulauan Tanimbar, Maluku hanya 1:223 luas Pulau Kalimantan atau 1:38 luas Pulau Jawa.
Lalu, penduduknya hanya 1:141 penduduk Kalimantan atau 1:1.070 penduduk pulau Jawa.
"Kalau dibangun di darat (ONLG), bisa dibayangkan faktor tidak diinginkan yang akan berimplikasi pada masyarakat pulau kecil ini dengan kedatangan pekerja dan keluarganya terhadap masyarakat khususnya adat, serta lingkungan hidup pulau ini berikut dampak yang akan ditimbulkan terkait ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya," katanya.
Menurut dia, para pendukung ONLG tidak memikirkan dampak negatif pembangunan fasilitas darat yang memerlukan lahan seluas 600-800 ha di atas Pulau Yamdena yang kecil.
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016