Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Sensor Film (LSF) merasa perkembangan teknologi yang semakin canggih menjadi hambatan dalam menyensor film.
Teknologi memberikan ruang untuk film agar dapat tayang tanpa melalui sensor film, hal tersebut dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
"Akibatnya banyak yang menyalahkan Lembaga Sensor Film, padahal film tersebut tayang tidak melalui sensor," kata Ketua LSF, Ahmad Yani Basuki, saat konferensi pers 100 Tahun Lembaga Sensor Film Indonesia di Jakarta, Rabu.
Keluhan yang banyak diterima LSF antara lain tentang film yang banyak mengandung adegan vulgar.
"Keluhan banyak mengenai film yang vulgar, atau yang kedua orangtua salah mengajak anaknya nonton film yang bukan diperuntukkan anak-anak," kata dia.
Dia mengatakan setiap film memiliki kategori masing-masing tapi tetap saja orangtua tidak memperdulikan kategori itu.
Seharusnya sebagai pendamping orangtua lebih bijak untuk memilihkan tontonan untuk anaknya, hal itu disebut juga sebaik sensor film mandiri.
Pada periode baru ini LSF memiliki paradigma baru dalam sensor film, salah satunya LSF menjadi mitra bagi insan perfilman.
"Penyensoran dilakukan berdialog dengan pemilik film. Kami akan mencatat bagian-bagian mana yang perlu di sensor, setelah itu kita akan kembalikan lagi ke pemilik film. Jika pemilik film tidak mau memotongnya kita akan berdialog untuk mencari jalan terbaik. Hal itu sudah berjalan sekarang," kata dia.
Pewarta: Aubrey Fanani
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016