Jakarta (ANTARA News) - KPK menilai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat menjadi pintu masuk bagi penegak hukum dan Direktorat Jenderal Pajak untuk menelusuri harta milik penyelenggara negara yang tidak wajar.

"Kita ingin mengejar harta-harta yang diperoleh tidak sah. Kita lihat income-nya, kalau meragukan kita panggil orangnya dan suruh membuktikan. Tapi itu hanya declare, undang-undangnya tidak sampai ke sana. Declare saja dan sanksinya juga administratif, kalau tidak wajar mau diapakan? Tidak bisa kita panggil untuk melakukan pembuktian terbalik," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan di gedung KPK Jakarta, Rabu.

Saat ini KPK sedang menggodok naskah akademis untuk membuat Peraturan Pemerintah (PP) mengenai penyerahan LHKPN yang ikut mengatur mengenai sanksi dan penyederhanaan format LHKPN.

"Di Hong Kong sudah begitu. Dia (Independent Commission Against Corruption atau lembaga antikorupsi Hong Kong) meendapat laporan kekayaan, kemudian dibandingkan pendapatannya dan bila perbedaannya tinggi, maka dia (ICAC) tuntut dan di pengadilan harus dibuktikan. Itu idealnya. Tapi undang-undang kita tidak begitu," ungkap Pahala.

Data LHKPN yang sudah dikumpulkan KPK juga sudah diserahkan kepada Ditjen Pajak untuk ditelusuri pembayaran pajaknya.

"Kita kasih data LHKPN ke Ditjen Pajak. Data elektroniknya sudah saya kasih. Jadi dia (Ditjen Pajak) bisa lihat yang tidak wajar ditulisi hibah ini itu, nah silakan diberi pajak hibahnya. Tapi saya tidak tahu sudah dipakai atau belum, sebulan lalu kita udah kasih," jelas Pahala.

Pahala mengaku selama ini masih banyak penyelenggara negara yang enggan untuk menyerahkan LHKPN ke KPK dengan berbagai alasan.

"Kalau dibilang LHKPN repot, kita sudah terima sekitar 250 ribu LHKPN. Masa mereka bisa yang lain tidak? Kalau dibilang susah mengisi untuk pertama kali, memang susah, tapi ada yang memang tidak niat," ungkap Pahala.

Setelah seorang penyelenggara negara menyerahkan LHKPN, selanjutnya, menurut Pahala, KPK akan mengirim surat ke bank, Badan Pertanahan Nasional dan e-Samsat (Dispenda).

"Ke bank saya tanya ini orang rekeningnya mana saja? Isinya berapa? Ke BPN saya tanya ada tidak sertifikat atas nama ini orang, istri atau anaknya? Ke Samsat saya tanya ada tidak kendaraan atas nama ini orang. Dapat datanya lalu kita bandingkan dengan yang dilaporkan. Kalau beda, kita klarifikasi. Kita panggil dan tanya kenapa berbeda? Ada yang mengaku lupa, kita cuma bisa bilang 'betulkan'. Kalau misalnya di bank ada transaksi aneh kita bawa ke bagian pengaduan masyarakat tapi belum ada yang sukses. Jadi sejauh ini kekuatan LHKPN cuma begitu," jelas Pahala.

Saat ini, ada sejumlah peraturan yang mengatur mengenai pelaporan LHKPN yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi; Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP. 07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara; Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi; dan Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.

Berdasarkan ketentuan tersebut, ada sejumlah kewajiban bagi para penyelenggara negara yaitu (1) Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan sesudah menjabat; (2) Melaporkan harta kekayaannya pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pension; (3) Mengumumkan harta kekayaannya.

Penyelengara negara yang wajib menyerahkan LHKPN adalah: (1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; (2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; (3) Menteri; (4) Gubernur; (5) Hakim; (6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (7) Direksi, Komisaris dan pejabat structural lainnya sesuai pada BUMN dan BUMD; (8) Pimpinan Bank Indonesia; (9) Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; (10) Pejabat Eselon I dan II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; (11) Jaksa; (12). Penyidik; (13) Panitera Pengadilan; dan Pemimpin dan Bendaharawan Proyek; (14) Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan; (15) Pemeriksa Bea dan Cukai; (16) Pemeriksa Pajak; (17) Auditor; (18) Pejabat yang mengeluarkan perijinan; (19) Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat; dan (20) Pejabat pembuat regulasi

Sanksi bagi mereka yang tidak menyerahkan LHKPN tertuang pada diatur pasal 20 UU Nomor 28 Tahun 1999 yaitu pengenaan sanksi administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016