Banjarnegara, Jawa Tengah (ANTARA News) - Sore itu, ribuan orang yang didominasi guru-guru tampak memadati halaman sebuah rumah di tu, ribuan orang yang didominasi guru-guru memadati halaman satu rumah di Desa Kalitengah RT001/05, Desa Kalitengah, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Mereka berduyun-duyun mendatangi rumah itu sejak Selasa siang (15/3), guna memberi penghormatan terakhir kepada Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistyo, yang merupakan putra tunggal pasangan Suwito dan Suparni ke tempat peristirahatan terakhir.

Isak tangis pun memecahkan suasana di beberapa sudut halaman rumah Suwito ketika jenazah Sulistyo tiba di tempat kelahirannya pada pukul 16.30 WIB yang disambut dengan kumandang tahlil.

Bahkan, ibunda Sulistyo, Suparni yang turut menjemput jenazah putra tunggalnya di Semarang itu, langsung jatuh pingsan saat turun dari mobil.

Tidak hanya guru, Bupati Banjarnegara, Sutedjo Utomo, pun berkaca-kaca saat menyambut kedatangan jenazah sosok yang gigih memperjuangkan nasib guru itu.

Saat mewakili keluarga Suwito untuk memberikan sambutan dalam upacara pemberangkatan jenazah menuju pemakaman, Utomo menyampaikan terima kasih atas kehadiran pelayat untuk mendoakan almarhum Sulistyo.

"Kami berterima kasih atas perhatian dan empati panjenengan (saudara) sekalian serta semua kebaikan baik moril maupun material. Semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT," katanya.

Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Tengah, Heru Sudjatmoko, mengajak pelayat untuk memberikan hormat yang setinggi-tingginya karena almarhum merupakan tokoh panutan.

"Beliau adalah gurunya para guru," katanya.

Ia mengaku kagum karena di desa terpencil yang ada di Kabupaten Banjarnegara yang berada di wilayah pegunungan dan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen itu, lahir seseorang yang bisa memperjuangkan nasib guru-guru di Indonesia.

"Beliau yang dilahirkan di desa ini, desa yang sederhana masyarakatnya, guyub rukun. 54 tahun lalu desa ini pasti lebih sederhana dari ini, beliau dibesarkan dan bermain di desa ini, siapa yang mengira dia bisa dipercaya guru se-Indonesia," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, almarhum Sulistyo patut mendapat penghormatan karena telah berjuang untuk para guru dan memperjuangkan dunia pendidikan.

Usai sambutan-sambutan, jenazah Sulistyo pun segera diberangkatkan menuju tempat peristirahatan terakhir di pemakaman keluarga yang berjarak sekitar 600 meter dari rumah duka dengan diiringi kumandang tahlil dan isakan pelayat.

Salah seorang paman almarhum, Suprihanto, mengatakan, saat masih hidup, Sulistyo pernah menyampaikan keinginannya pulang kampung.

"Jadi, pemakaman di kampung halamannya ini merupakan keinginan dia. Saat itu seperti orang humor tapi karena amanah ya dilaksanakan," katanya.

Ia mengaku terakhir bertemu dengan almarhum Sulistyo pada 10 Februari 2016 saat pertemuan keluarga.

Dalam pertemuan itu, kata dia, Sulistyo mengajak foto bersama seluruh keluarga besar.

"Yang saya rasa aneh, saat itu dia tidak seperti biasanya, pulang kampung dua kali dalam satu bulan. Pulang hanya setengah jam menemui kami di rumah. Biasanya pulang satu tahun sekali atau kalau pas ada acara yang dekat-dekat sini, mampir ke rumah," katanya.

Kepergian Sulistyo untuk selama-lamanya itu meninggalkan kesan tersendiri bagi para guru, khususnya yang masuk tenaga honorer kategori dua (K2).

Itu karena Sulistyo yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jawa Tengah dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan hak-hak guru honorer K2 agar bisa menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Salah seorang guru honorer K2, Umi Haniah, mengaku sangat prihatin dan kehilangan sosok seperti almarhum Sulistyo yang gigih memperjuangkan nasib guru.

"Kami sangat prihatin sekali dengan kepergian Pak Sulis (Sulistyo) karena beliau sangat memperjuangkan nasib kami, guru honorer K2 maupun yang nonkategori," kata dia sudah 12 tahun menjadi guru honorer itu sambil meneteskan air mata.

Ia mengharapkan kelak ada sosok seperti almarhum Sulistyo yang benar-benar memperjuangkan nasib guru honorer K2 maupun nonkategori.

"Kami ucapkan selamat jalan kepada almarhum Bapak Sulistyo arwah beliau diterima di sisi-Nya. Beliau meninggal dengan khusnul khatimah," kata guru Sekolah Dasar Negeri Kutayasa, Kecamatan Madukara, Banjarnegara itu.

Kesedihan juga dirasakan oleh Komandan Satuan Tugas SAR PGRI Kabupaten Banjarnegara, Tapsirun, yang sudah cukup lama mengenal sosok Sulistyo.


Menurut dia, jasa-jasa almarhum Sulistyo sangat luar biasa dalam rangka memperjuangkan nasib guru mulai dari lahirnya sertifikasi seiring dengan adanya Undang-Undang Guru.

"Terakhir ini, beliau sedang memperjuangkan teman-teman guru honorer K2 yang sudah puluhan tahun mengabdikan diri di dunia pendidikan dengan honor yang minim, ada yang Rp50.000, ada yang Rp100.000, ada yang Rp200.000 per bulan tapi mereka tetap loyal dan berjuang di dunia pendidikan. Teman-teman menginginkan supaya mereka bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil," kata dia, sambil menahan tangis.

Ia mengatakan bahwa para guru khususnya yang honorer K2 sangat terpukul atas meninggalnya Sulistyo sehingga bertanya-tanya siapakah nanti yang akan melanjutkan perjuangan almarhum dalam memperjuangkan nasib mereka.

Kendati demikian, dia mengaku optimistis bahwa dalam PB PGRI masih banyak sosok seperti almarhum Sulistyo.

"Kami berharap nanti akan muncul Pak Sulis, Pak Sulis berikutnya. Tidak hanya honorer K2, semua anggota PGRI, bahkan dunia pendidikan merasa kehilangan beliau," katanya.

Sementara itu, Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno mengaku sangat kagum terhadap semangat juang almarhum Sulistyo yang merupakan adik kelasnya saat masih duduk di bangku Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Banjarnegara.

Dalam hal ini, Hadi Supeno selisih dua tingkat dengan Sulistyo dan sama-sama pernah menjadi Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) saat di SPG.

Selain itu, lanjut dia, jalan hidupnya sama seperti yang dijalani almarhum Sulistyo.

"Saya tinggal di pegunungan utara Banjarnegara, dia tinggal di pegunungan selatan Banjarnegara. Kalau berangkat sekolah, dia harus jalan kaki dulu sampai ke Kali Mendong baru dia memperoleh kendaraan," kata mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu.

Saat Hadi melanjutkan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta, Sulistyo mengaku terinspirasi untuk mengikuti jejaknya dengan berkuliah di IKIP Semarang.

Bahkan, saat Hadi sering menulis di surat kabar, Sulistyo pun juga ikut menulis di surat kabar.

"Jadi, saya dan dia saling memberi inspirasi," katanya.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa jasa almarhum Sulistyo banyak sekali terutama dalam mengangkat harkat dan martabat guru.

"Dia ingin harkat guru dihargai yang sesungguhnya, bukan sekadar di pidato Presiden atau pidato menteri tetapi benar-benar sampai riil dalam bentuk sebuah apresiasi. Itu yang terus-menerus dilakukan," katanya.

Saat bertemu di Magelang satu bulan lalu, kata dia, Sulistyo mengaku sangat berutang jika guru honorer K2 tidak sampai diangkat menjadi PNS.

"Tetapi saya tidak punya kekuasaan apa-apa karena PGRI bukan level eksekusi," kata dia menirukan ucapan Sulistyo.

Ia mengatakan bahwa salah satu ucapan Sulistyo yang selalu diingat dalam benaknya adalah keinginan agar guru tidak menjadi korban politisasi pejabat-pejabat politik.

Menurut dia, almarhum Sulistyo mengaku sangat sedih ketika ada pergantian kekuasaan di daerah, banyak guru yang menjadi korban politik.

"Itu yang selalu diulang-ulang disampaikan kepada saya di banyak tempat," katanya.


Sulistyo meninggal dalam peristiwa korsleting listrik saat menjalani terapi di Rumah Sakit TNI AL Mintoharjo, Jakarta, sekitar pukul 13.10 WIB, Senin (14/3).

Sulistyo yang juga mantan Rektor IKIP PGRI Semarang itu berada di RS TNI AL Mintoharjo, Jakarta, untuk terapi oksigen murni (hiperbarik) yang ternyata baru kali pertama dijalani dia.

Salah satu pendiri Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia itu lahir di Banjarnegara, 12 Februari 1962, dan wafat pada usia 54 tahun, meninggalkan seorang istri, yakni Halimah, dan dua orang anak.

Oleh Sumarwoto
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016