Yang terpenting dalam bermain ganda itu pemain harus bisa mengalah. Jangan sok pintar, karena nanti malah kalah. Jika kalah, artinya dua-duanya kalah."
Jakarta (ANTARA News) - "Mencetak atlet itu bak menebar benih di sawah, tidak semuanya jadi, karena itu kejelian seorang pelatih sangat menentukan dalam melihat siapa yang berpotensi menjadi juara," demikian diungkapkan Christian Hadinata ketika ditanya kiat suksesnya menjadi pelatih.
Nama Christian Hadinata tidak asing lagi di kancah bulu tangkis Tanah Air karena gelar legenda bulu tangkis Indonesia sudah disematkan pada dirinya.
Pada tahun 2001, Christian menerima apresiasi fenomenal dari World Badminton Federation (WBF) dalam "The World Badminton Hall of Fame", di samping Rudi Hartono Kurniawan (1997), Dick Sudirman (1997), Liem Swie King (2002), Susi Susanti (2004), Tjun Tjun (2009), Johan Wahyudi (2009), Ricky Subagja (2009), dan Rexy Mainaky (2009).
Bukan hanya sukses sebagai atlet di era 70-an hingga pertengahan 80-an, pria kelahiran Purwokerto, 11 Desember 1949 ini juga dikenal sebagai master pencetak pasangan ganda andal Indonesia.
Mulai dari pasangan Ricky Achmad Subagdja/Rexy Mainaky, Gunawan/Bambang Suprianto, dan Denny Kantono/Antonius. Ia juga turut membentuk Candra Wijaya/Sigit Budiarto dan Tony Gunawan/Halim Haryanto.
Kemampuan menemukan dan memasangkan atlet ini tak lain berkat pengalamannya berkecimpung sebagai pemain ganda mulai dari usia 17 tahun hingga memutuskan pensiun pada usia 37 tahun.
Meski memulai karir di usia tidak muda lagi, Christian selalu sukses jika dipasangkan dengan siapa saja, mulai dengan Atik Jauhari yang berhasil menjadi juara nasional.
Kemudian, berpasangan dengan Retno Kustijah yang berhasil menjadi juara Asia nomor ganda campuran.
Lalu berpasangan dengan Ade Chandra yang berhasil menjuarai Asian Games 1978, All England 1972 dan 1973, serta juara dunia 1980.
Bersama Boby Ertanto yang menjuarai All England 1983 dan Indonesia Terbuka 1984, dan dengan Lius Pongoh yang memenangi Jepang Terbuka 1981.
Saat berpasangan dengan Imelda Wiguna, ia berhasil menjuarai All England 1979 dan juara dunia 1980, lalu dengan Ivana Lie berjaya di Asian Games 1982, Indonesia Terbuka 1984, dan Piala Dunia 1985.
Sepanjang enam kali memperkuat Tim Piala Thomas (1972-1986), pelatih yang akrab dipanggil Pak Chris ini selalu berhasil merebut poin dengan siapa pun pasangannya.
Kepiawaian Christian dalam bermain ganda ini disadarinya tak lepas dari kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan pasangan.
Sejarah mencatat, suami dari Yoke Anwar ini pernah berpasangan dengan Liem Swie King yang bertipe menyerang dan sekaligus Icuk Sugiarto yang bertipe bertahan.
"Dengan King, saya hanya memancing-mancing dengan bola-bola lemah sehingga lawan terpaksa mengangkat bola lalu King yang mengeksekusi. Sebaliknya dengan Icuk, ia angkat-angkat saja bola biar dipukul lawan," kata dia.
Dari pengalaman ini, tak heran jika Christian memegang rahasia permainan ganda bulu tangkis.
Lalu menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia karena ia yang sukses sebagai atlet, setelah pensiun bersedia terjun sebagai pelatih.
"Yang terpenting dalam bermain ganda itu pemain harus bisa mengalah. Jangan sok pintar, karena nanti malah kalah. Jika kalah, artinya dua-duanya kalah," kata dia yang dijumpai di Palembang dalam Audisi Beasiswa Bulutangkis Djarum 2016.
Pilih Atlet
Berbekal pengalaman tersebut membuat ketajaman Christian dalam memilih atlet tidak diragukan lagi.
Hal ini terbukti ketika ia menemukan dan memasangkan Ricky Achmad Subagdja/Rexy Mainaky.
"Saat itu saya menonton Rexy main di nomor tunggal di sebuah kejuaraan nasional. Hati saya berkata, anak ini sebenarnya cocok main ganda," kata dia.
Lalu, saya dekati Rexy dan menawari mengikuti seleksi pemusatan latihan nasional.
"Respon Rexy ketika itu masih ragu, malah menantang saya bisa membawanya masuk Pelatnas Cipayung tanpa seleksi. Beruntung waktu itu kejelian saya didukung oleh Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PBSI FX Siregar, sehingga Rexy bisa masuk tanpa seleksi," kata dia.
Kejadian ini tak berbeda jauh ketika ia menemukan Ricky Achmad Subagdja, yang kemudian menjadi pasangan Rexy Mainaky dan berhasil menggondol medali emas Olimpiade Atlanta tahun 1996.
Pada sebuah kejuaraan nasional tingkat junior, Christian mendapati Ricky bermain dalam tiga nomor sekaligus yakni tunggal, ganda, dan ganda campuran.
Meski demikian, bakat dari Ricky sudah membuat Christian berdecak kagum.
"Saya datangi Ricky, saya bilang tidak bisa kamu begini. Di usia junior, kamu sudah terlalu capek. Sebaiknya kamu fokus di ganda saja, harus pilih ganda putra atau ganda campuran. Saat itu, ganda campuran masih dipandang sebelah mata sehingga Ricky pilih ganda putra dan sampai akhirnya berpasangan dengan Rexy," kata Christian.
Bagaimana Christian bisa jeli melihat bakat atlet ini ?. Lagi-lagi, pelatih yang menjadi Direktur Pelatnas PBSI dan sekaligus pelatih sektor ganda PB Djarum ini tidak bisa menyebutkan resepnya secara gamblang.
Ia lebih senang menyebut keterampilan itu sebagai seni yakni perpaduan antara teori dan pengalaman.
"Jadi penerapannya seperti menggunakan feeling dan insting saja, dan ini sayangnya tidak ada di buku," kata Christian sambil tertawa.
Ia mengaku, sejak pertama kali melihat atlet bermain sudah bisa menilai apakah atlet itu berbakat atau tidak.
Dari cara atlet memegang raket, memukul bola, bergerak ke samping, service, drop shoot, dan smash, menurutnya sudah bisa terlihat peluang si atlet di masa datang. Apakah bisa berkembang atau justru stagnan karena tidak memiliki bakat yang bagus.
Hanya saja, untuk saat ini, ia menilai tidak bisa lagi hanya mengandalkan "bakat alam" seperti digunakan pada era sebelumnya.
Untuk memenangkan persaingan dunia saat ini yang semakin ketat, seorang atlet harus memiliki dua sekaligus yakni bakat dan juga harus dibuat menjadi juara.
Dengan kata lain, ayah Mario Hadinata dan Mariska Hadinata ini menyebut bahwa atlet masa kini itu bukan hanya ditemukan tapi juga harus diciptakan menjadi seorang juara.
"Zaman sudah berubah, dulu bakat alam bisa membuat jadi juara. Seorang atlet bagus bisa latihan sendiri dan mikir sendiri untuk jadi juara. Saat ini tidak bisa lagi, harus dua-duanya, juga ditemukan dan juga diciptakan, jadi tidak hanya cukup bagus tapi harus super bagus bahan bakunya," kata dia.
Kemudian, tak kalah penting lagi yakni dilatih oleh pelatih yang hebat karena akan semakin membuka peluang seorang atlet mencapai titik performa terbaiknya.
"Jika atletnya sudah berbahan baku bagus masih bisa juara meski pelatihnya biasa-biasa saja, yang sulit itu jika bahan bakunya kurang. Meski pelatihnya hebat, tetap akan sulit karena terdapat beribu kendala," kata dia.
Untuk memunculkan pelatih hebat juga bukan perkara mudah karena masih banyak pelatih yang dipengaruhi oleh cara lama yang enggan belajar mengenai sport science.
Padahal, menurut Christian, faktor keilmuan, gizi, dan psikologis atlet menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam mencetak atlet selain menyiapkan fisik, teknik, taktik, dan strategi untuk bermain.
"Seperti Susi Susanti dan Mia Audina, itu contoh atlet berbakat yang mampu berprestasi cemerlang karena memang memiliki bakat. Coba bayangkan jika saat itu sudah dipadukan dengan sport science maka akan lebih maksimal lagi, bisa jadi bisa memiliki rentan karir lama," kata dia.
Bagi Rexy Mainaky, Christian Hadinata merupakan sosok berjasa dalam karir bulu tangkisnya hingga mencapai prestasi tertinggi di kancah olimpiade.
Bersama Ricky Subagja, Rexy mendapatkan predikat tim ganda bulu tangkis paling sukses di dunia internasional karena berhasil menyabet 30 gelar juara atau mengoleksi seluruh gelar juara kompetisi olah raga bulutangkis yang diselenggarakan selama dekade itu.
Christian Hadinata yang mempertemukan pasangannya, meski ketika itu Rexy Mainaky sudah berpasangan dengan kakaknya, Richard Mainaky.
"Terus terang, bakat saya terasah maksimal ketika dibimbing Christian Hadinata. Dia sosok yang hingga kini menjadi inspirasi saya, terutama bagaimana cara ia membimbing atlet. Jika ada masalah, ia memanggil atlet dan mengajak berdiskusi untuk menemukan solusi terbaik, itu yang saya kagumi," kata Rexy.
Christian Hadinata merupakan sosok atlet yang sukses sekaligus ketika terjun sebagai pelatih.
Di usianya yang sudah menginjak 66 tahun, juara dunia tahun 1980 bersama Ade Chandra ini tetap berbuat bagi bulu tangkis Indonesia dalam menemukan dan mencetak atlet.
Legenda bulu tangkis Indonesia ini tetap turun langsung di sejumlah kejuaraan nasional untuk mencari putra bangsa berbakat yang akan dicetak menjadi juara.
Oleh Dolly Rosana
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016