Jakarta (ANTARA News) - Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA) menolak draft (rancangan) revisi Undang-Undang (UU) Perkeretapian Nomor 13 tahun 1992 yang dinilai tidak berpihak kepada publik serta tidak menjamin masa depan perkeretaapian Indonesia. Dalam pernyataannya di Jakarta, Selasa, SPKA mengatakan, sepanjang aspirasi mereka tidak diakomodir, maka mereka tetap menolak RUU Perkeretaapian yang saat ini sudah berada di DPR RI itu."Penolakkan itu telah disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui surat No 52/DPP.SPKA/UM/II/2007 tanggal 22 Februari 2007 yang tembusannya juga disampaikan kepada perwakilan International Transportation Federation (ITF) di Jakarta," kata Ketua Umum SPKA, Puspawarman, dalam siaran pers yang diterima ANTARA News. Ia mengatakan SPKA sendiri telah mengaspirasikan agar RUU Perkeretapian itu mengakomodir publik, seperti, adanya ketegasan serta konsistensi terhadap batas dan wewenang pemerintah selaku regulator, serta PT Kereta Api selaku Operator. Dalam UU 13 Tahun 1992 hal ini secara de-jure sudah diatur, tetapi dalam praktiknya sering kali terjadi inkonsistensi pemerintah selaku regulator. Regulator selama ini terkesan project oriented belum memerankan fungsi regulated oriented, katanya. SPKA juga meminta adanya kejelasan, ketegasan serta konsistensi pemerintah terhadap konstribusi pelayanan angkutan KA yang memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya terhadap publik. Mekanisme pemberian Public Service Obligation (PSO) tidak didasarkan pada budget oriented tetapi public utility oriented sehingga tidak terjadi backlog PSO seperti selama ini. Selanjutnya, adanya kejelasan peruntukan KA pada koridor tertentu, sehingga antar moda angkutan tidak dihadapkan pada iklim kompetisi head to head yang bisa saling mematikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang infrastrukturnya dibiayai dengan uang rakyat. Misalnya untuk lintas Utara Jawa, semua angkutan barang wajib menggunakan moda KA, atau semua angkutan kontainner wajib menggunakan KA, katanya. Selain itu, SPKA juga meminta adanya keterpaduan perencanaan tata ruang dan wilayah terhadap pembangunan jaringan jalan KA, sehingga satu sama lain saling bersinergi. Keempat hal tersebut, kata dia, sebagian contoh dan beberapa hal prinsip lainnya masih ada yang juga telah diaspirasikan baik kepada Pemerintah maupun kepada DPR RI. Misalnya tentang prinsip multi operator dan open access. Penolakan tersebut bukan wujud arogansi sebagai pekerja, tetapi pihaknya mengakomodasi aspirasi, kritik, saran dan pendapat masyarakat selaku konsumen jasa KA. Sebagai pekerja KA sebenarnya pihaknya merasa malu terus menerus diberi masukan oleh konsumen, tetapi hal tersebut terjadi karena perumus kebijakan seolah tidak mendengarkan apa yang selama ini diaspirasikan, katanya.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007