Ankara (ANTARA News) - Serangan bom mobil kedua ke jantung ibu kota Turki, Ankara, dalam kurang sebulan ini menghancurkan sebuah "transport hub" yang sibuk di ibu kota Turki Ankara, Minggu waktu setempat, dengan menewaskan paling sedikit 32 orang dan melukai setidaknya 75 orang lebih.

Negara anggota NATO itu memang kerap menghadapi serangan teror semacam itu karena menghadapi banyak ancaman keamanan.

Sebagai bagian dari koalisi pimpinan AS, Turki juga turut memerangi ISIS di Suriah dan Irak.

Saat bersamaan Turki juga memerangi militan PKK di sebelah tenggara di mana gencatan senjata 2,5 tahun ambruk Juli tahun lalu sehingga memicu kekerasan terburuk sejak 1990-an.

Turki menganggap kekerasan yang terjadi di wilayah bagian tenggaranya yang mayoritas dihuni etnis Kurdi adalah sangat berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di Suriah utara di mana milisi Kurdi YPG menduduki daerah itu setelah memerangi baik ISIS maupun pemberontak yang memerangi Presiden Bashar al-Assad.

Ankara khawatir sukses Kurdi Suriah makin membakar ambisi separatisme Kurdi di wilayahnya sendiri. Turki sejak lama menganggap YPG dan PKK memiliki hubungan ideologis yang sama, selain bekerjasama di lapangan.

PKK biasanya membidik langsung pasukan keamanan dan tidak pernah menyasar warga sipil. Jika PKK bertanggung jawab atas serangan bom mobil pada Minggu waktu setempat itu, maka itu menunjukkan PKK telah menggeser taktiknya.

Elang Kebebasan Kurdistan (TAK) yang mengaku bertanggung jawab atas serangan 17 Februari silam pernah berafiliasi kepada PKK namun kemudian mengaku memisahkan diri dari PKK.

Tidak hanya Kurdi, ISIS juga paling sedikit sudah empat kali menyerang Turki sejak Juni 2015, termasuk serangan bom bunuh diri yang menewaskan 10 turis Jerman di Istanbul, Januari silam.

Kelompok militan islamis lokal dan pemberontak kiri juga sering menyasar negara anggota NATO ini, demikian Reuters.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016