"Melalui alat sensor yang ditempatkan dalam suatu bangunan akan dapat diketahui kerusakan yang terjadi apakah berat, ringan, atau sama sekali tidak mengalami kerusakan," kata guru besar Toyo University Jepang tersebut dalam paparan ilmiahnya, Sabtu.
Suzuki mengatakan sensor tersebut dapat mengetahui perilaku bangunan yang terkena gempa baik itu akibat besaran getaran maupun frekuensi getaran yang berulang-ulang.
Kemudian dilanjutkan dengan membuat model bangunan dengan spesifikasi sesuai aslinya untuk kemudian dilakukan uji gempa seperti yang terjadi baik kekuatan maupun frekuensinya, dari hal itu akan ketahuan berapa besar kerusakannya.
Jepang merupakan salah satu negara yang sangat peduli terhadap gempa yang terjadi di Padang dan Aceh, sumbangan berupa alat uji, serta masukan mengenai bangunan tahan gempa telah menginsipirasi pemangku kebijakan.
Belum lama ini dua ahli gempa asal Jepang yakni Profesor Suzuki dan Profesor Yusuke Ono hadir dalam seminar internasional yang diselenggarakan Universitas Negeri Padang untuk memberikan pendapatnya mengenai gempa di Padang dan Aceh.
Sedangkan ahli di bidang struktur, Profesor Herman Wahyudi, mengatakan, keberhasilan bangunan anti gempa terletak pada pondasi bangunan, terutama untuk bangunan bertingkat tiga sampai lima harus menggunakan pondasi yang dilengkapi sejumlah rusuk.
Penggunaan rusuk ini diadopsi konstruksi sarang laba-laba yang menggunakan rusuk-rusuk berbentuk segitiga sehingga meskipun termasuk pondasi dangkal namun sangat kaku sehingga kuat menahan gempa, kata dia.
"Dalam bidang teknik sipil rusuk berbentuk segitiga dikenal stabil meskipun menerima tekanan (stressing) baik itu gempa atau beban berat," kata Herman sebagai pembicara dalam seminar yang diselenggarakan Universitas Negeri Padang, Senin.
Hal ini yang membuat bangunan-bangunan di Aceh dan Padang yang menggunakan pondasi/ konstruksi sarang laba-laba tetap kokoh berdiri sampai sekarang ini meskipun kedua daerah tersebut beberapa kali terkena gempat besar, jelas guru besar ITS ini.
Wahyudi yang meraih gelar doktor dari Paris ini berharap kalangan Universitas Negeri Padang dapat terus melakukan riset dan mempelajari kekuatan dari konstruksi sarang laba-laba terhadap gempa.
Saat ini di komplek Universitas Negeri Padang sendiri terdapat sembilan bangunan bertingkat tiga dan empat yang menggunakan konstruksi hasil karya anak bangsa ini, sehingga banyak peserta dari pengajar dan mahasiswa jurusan sipil dari berbagai perguruan tinggi di kota Padang ini antusias untuk bertanya.
Herman mengatakan meskipun konstruksi sarang laba-laba termasuk dalam golongan pondasi dangkal tetapi karena adanya rusuk (ribs) segitiga yang di dalamnya diisi dengan campuran tanah dan pasir yang dipadatkan membuat konstruksi ini kaku (rigid).
Herman mengatakan agar konstruksi ini semakin kuat sebelum dipasang maka sebelumnya harus ada perbaikan tanah terlebih dahulu (soil improvment) terutama di lahan-lahan yang memiliki kondisi tanah ekstrim.
Herman mengatakan hasil penelitian dengan menumbukkan beban 80 ton di atas konstruksi laba-laba ternyata tidak ada kerusakan sama sekali yang menunjukkan kombinasi rusuk dengan tanah dan pasir tersebut mampu meredam tekanan besar di atasnya.
Herman merekomendasikan agar konstruksi sarang laba-laba ke depannya dibuat pabrikasinya, sehingga saat ada yang membutuhkan pekerjaan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat dan efisien karena tinggal dipasang di lokasi.
Herman juga melihat konstruksi sarang laba-laba lebih banyak menyerap tenaga kerja, karena tidak ada pekerjaan yang membutuhkan alat berat. Kalaupun membutuhkan alat hanya pemadat tanah portabel.
Dengan telah diujinya melalui gempa yang terjadi di Padang dan Aceh membuat Kepala Dinas di kota Padang dan Solok telah menerbitkan surat rekomendasi bahwa sarang laba-laba merupakan konstruksi tahan gempa yang layak untuk dipergunakan.
Katama selaku perusahaan pemegang paten konstruksi sarang laba-laba telah mendapat penghargaan upakarti dari Presiden karena sumbangannya dibidang konstruksi berkelanjutan.
Pewarta: Ganet Dirgantoro
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016