London (ANTARA News) - Seperempat juta anak hidup dalam teror di daerah-daerah terkepung Suriah, tempat bom barel, serangan udara dan penembakan merupakan kejadian sehari-hari, kata yayasan amal Save the Children, Rabu.
Kekurangan makanan memaksa anak-anak memakan dedaunan rebus dan pakan ternak sementara hidup dalam ketakutan akan serangan, kata Save the Children dalam sebuah laporan yang diterbitkan menjelang perundingan perdamaian di Jenewa beberapa hari mendatang.
"Ketakutan telah mengambil kendali. Anak-anak sekarang menunggu giliran mereka untuk dibunuh. Bahkan orang dewasa hidup hanya menunggu giliran mereka untuk mati," kata Save the Children yang mengutip perkataan seorang ibu di Ghouta Timur.
Lebih dari seperempat juta orang telah tewas dalam perang lima tahun Suriah, yang telah menciptakan krisis pengungsi besar di Libanon, Yordania, Turki dan Uni Eropa.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperkirakan hampir 500.000 orang hidup di dalam kepungan di Suriah, di luar 4,6 juta yang berada di daerah yang sulit dijangkau bantuan.
Penghentian sementara permusuhan yang berlaku sejak lebih dari sepekan lalu telah memudahkan PBB dan Bulan Sabit Merah Arab Suriah (SARC) menjangkau orang-orang seperti itu, tapi pertempuran terus berlanjut di beberapa tempat dan kelompok-kelompok oposisi mengatakan tidak mendapatkan cukup bantuan.
Save the Children menyatakan kiriman bantuan hanya menutupi sebagian kecil kebutuhan, dan orang-orang di daerah yang terkepung tidak diizinkan untuk pergi guna mendapatkkan perawatan kesehatan.
"Anak-anak sekarat akibat kekurangan makanan dan obat-obatan di bagian-bagian Suriah yang hanya beberapa kilometer dari gudang yang penuh bantuan," kata Direktur Advokasi, Media dan Komunikasi Regional Save the Children, Misty Buswell.
"Keluarga (yang diwawancarai Save the Children) berbicara tentang bayi yang sekarat di pos pemeriksaan, dokter hewan (ahli bedah hewan) merawat manusia, dan anak-anak terpaksa makan pakan ternak saat mereka berlindung di ruang bawah tanah dari serangan udara," katanya dalam pernyataan yang dikutip kantor berita Reuters. (Uu.M052)
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016