"KPK telah minta keterangan kepada sekitar 30 orang dalam proses penyelidikan dan masih berjalan, ke-30 orang itu berasal dari pihak RS Sumber Waras maupun dari pihak pemerintah provinsi DKI Jakarta," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Selasa.
Priharsa juga membantah bahwa KPK ingin mengambil momentum pilkada Gubernur DKI Jakarta pada 2017 nanti.
"Ada jadwal ekspose antara pimpinan dan bagian penindakan, jadi tidak tepat dihubung-hubungkan dengan pilgub tadi," kata Priharsa.
Hingga saat ini, KPK belum menaikan pengaduan mengenai RS Sumber Waras ini ke tahap penyidikan sehingga belum ada tersangka dalam kasus ini. Meski BPK sudah meminta keterangan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait pembelian lahan RS Sumber Waras ini.
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK juga sudah diserahkan ke DPRD DKI Jakarta pada Oktober lalu.
Basuki menilai bahwa pemprov membeli lahan di Jalan Kyai Tapa 1 Grogol Jakarta Barat itu karena Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada 2014 adalah sebesar Rp20,7 juta per meter persegi sehingga pemprov DKI Jakarta diuntungkan. Pemilik lahan menjual dengan harga NJOP sehingga total harganya Rp755,6 miliar, sedangkan pada harga pasar, nilainya lebih tinggi.
Namun sesuai dengan audit Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan DKI Jakarta 2014, pembelian tanah itu berindikasi merugikan keuangan daerah hingga Rp191,3 miliar karena harga pembelian pemprov DKI terlalu mahal.
BPK mengacu pada harga pembelian PT Ciputra Karya Utama (CKU) kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) tahun 2013 sebesar Rp564,3 miliar. CKU kemudian membatalkan pembelian lahan itu karena peruntukan tanah tidak bisa diubah untuk kepentingan komersial.
Dalam LHP, antara lain, BPK merekomendasikan agar pemprov menagih tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) selama 10 tahun sejak 1994-2014 senilai lebih dari Rp3 miliar.
Selain itu, BPK juga merekomendasikan Basuki agar memberikan sanksi kepada Tim Pembelian Tanah yang dinilai tidak cermat dan tidak teliti memeriksa lokasi tanah berdasarkan Zona Nilai Tanah.
Hingga saat ini, KPK belum menaikan pengaduan mengenai RS Sumber Waras ini ke tahap penyidikan sehingga belum ada tersangka dalam kasus ini. Meski BPK sudah meminta keterangan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait pembelian lahan RS Sumber Waras ini.
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK juga sudah diserahkan ke DPRD DKI Jakarta pada Oktober lalu.
Basuki menilai bahwa pemprov membeli lahan di Jalan Kyai Tapa 1 Grogol Jakarta Barat itu karena Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada 2014 adalah sebesar Rp20,7 juta per meter persegi sehingga pemprov DKI Jakarta diuntungkan. Pemilik lahan menjual dengan harga NJOP sehingga total harganya Rp755,6 miliar, sedangkan pada harga pasar, nilainya lebih tinggi.
Namun sesuai dengan audit Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan DKI Jakarta 2014, pembelian tanah itu berindikasi merugikan keuangan daerah hingga Rp191,3 miliar karena harga pembelian pemprov DKI terlalu mahal.
BPK mengacu pada harga pembelian PT Ciputra Karya Utama (CKU) kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) tahun 2013 sebesar Rp564,3 miliar. CKU kemudian membatalkan pembelian lahan itu karena peruntukan tanah tidak bisa diubah untuk kepentingan komersial.
Dalam LHP, antara lain, BPK merekomendasikan agar pemprov menagih tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) selama 10 tahun sejak 1994-2014 senilai lebih dari Rp3 miliar.
Selain itu, BPK juga merekomendasikan Basuki agar memberikan sanksi kepada Tim Pembelian Tanah yang dinilai tidak cermat dan tidak teliti memeriksa lokasi tanah berdasarkan Zona Nilai Tanah.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016