Jakarta (ANTARA News) - Pengamat pasar uang Farial Anwar mengatakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) masih dapat turun sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 9,0 persen, karena inflasi Februari cukup rendah dari perkiraaan sebelumnya. "Selain itu, perbedaan dengan suku bunga dolar (bank sentral AS/Federal Reserve) juga masih cukup tinggi," katanya di Jakarta, Senin, saat ditanya perkiraan BI rate pada Rapat Dewan Gubenur BI yang akan dilakukan pada Selasa (6/6). Inflasi Indonesia pada Februari 2007 sebesar 0,62 persen, inflasi secara "year on year" (selama 12 bulan hingga Februari 2007) 6,30 persen, dan secara tahun kalender inflasi mencapai 1,67 persen. Sementra itu, suku bunga dolar (the Fed) adalah 5,25 persen dan BI rate adalah 9,25 persen. Farial mengatakan tidak ada alasan bagi BI untuk tidak menurunkan suku bunga. Ia mengatakan "riil effective rate" (suku bunga riil) adalah dua persen di atas inflasi. Sementara target inflasi pemerintah sepanjang 2007 adalah enam persen plus minus satu persen, sehingga jika inflasi tujuh persen, maka masih ada peluang BI rate menjadi 9,0 persen. Selain itu, katanya "interest rate differential" (perbedaan dengan suku bunga lain) terutama dengan dolar masih tinggi, yakni saat ini sekitar empat persen. "Dari negara tujuan investasi, maka suku bunga Indonesia masih yang tertinggi di dunia," katanya. Mengenai tekanan inflasi ke depan, Farial mengatakan dari dalam negeri relatif tidak ada, kecuali jika ada kejadian luar biasa seperti bencana alam. Sementara itu, faktor inflasi dari luar adalah jika harga minyak naik tinggi sehingga bisa menyebabkan harga BBM naik. Kenaikan harga minyak, katanya, terutama jika AS terus berseteru dengan Iran. Ia mengatakan suku bunga yang tinggi menyebabkan sektor riil tidak bergerak karena bank lebih senang menyimpan uangnya pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI). (*)
Copyright © ANTARA 2007