Tahun 2011, Osama bin Laden dikabarkan tewas dalam serangan 40 menit di kota Peshawar, Pakistan oleh pasukan khusus antiteror militer Amerika Serikat. Seluruh media di dunia memberitakan kejadian besar itu.
Di Jerman sendiri, berita kematian Osama memunculkan turbulensi politik di tubuh pemerintahan Kanselir Angela Merkel. Pasalnya, Merkel mengeluarkan pernyataan yang dinilai oleh kelompok oposisi ketika itu (Partai Sosialis/SPD dan Partai Kiri/die Linke Partei) sebagai bentuk ketidakpedulian moral.
"Ich freue mich daruber, da es gelungen ist Osama Bin Laden zutoten," kata Merkel dalam sebuah wawancara dengan televisi ZDF. Kurang lebih artinya begini: "Saya senang karena Osama bin Laden sudah berhasil dibunuh".
Dalam demokrasi Jerman, sebagaimana umumnya di negara makmur, isu moral adalah isu utama. Karena pernyataannya, Merkel dicerca oposisi sebagai pemimpin yang lemah saraf moral.
Saya tidak mau menilainya berlebihan. Reaksi Merkel adalah reaksi yang manusiawi. Saya yakin tiap hati yang terluka oleh aksi terorisme merasakan hal yang sama.
Betul, bahwa Osama adalah juga manusia yang pada dirinya melekat secara inheren seperangkat hak dasar yang mesti dihargai.
Namun, terorisme adalah kejahatan yang merusak ruang hidup dan meleburkan dimensi luhur dari peradaban tertentu.
Pretensi tulisan ini bukan soal terorisme "ansich", melainkan soal bagaimana manajemen konflik di tubuh pemerintahan. Secara mengejutkan, Merkel sukses mengatasi turbulensi yang sempat menurunkan popularitasnya.
Hubungan CDU, sebagai partai berkuasa dengan SPD sebagai oposisi bahkan berkembang ke arah yang positif. Usai Pemilu 2013, SPD justru berkoalisi dengan CDU mendukung periode ketiga pemerintahan Merkel.
Bagaimana itu bisa terjadi?
Ada beberapa hal yang saya amati. Pertama, sosok Merkel sendiri yang cerdas, kalem, dan populis. Merkel memang dikritik lemah dalam politik dalam negeri dan kuat dalam politik luar negeri. Tapi, Merkel sebetulnya sosok yang ramah dan dekat dengan rakyat.
Ia menyapa rakyatnya secara langsung.
Kedua, komunikasi politik pemerintah terorganisasi secara sistemik dan cenderung menghindari konflik terbuka di media.
Ketiga, masyarakat politik Jerman yang rasional adalah modal yang kuat dalam menjamin adanya stabilitas politik. Konflik elite dipahami secara rasional dan proporsional oleh publik.
Bagaimana dengan kita?
Sudah setahun lebih pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla melewati badai dan batu karang. Tantangan politik yang serius dari parlemen dan dari internal partai pendukung sempat menyurutkan optimisme, namun pada akhirnya terselesaikan juga.
Meski guncangan politik begitu kuat, pemerintah terus merealisasikan Nawacita yang menjadi arah dasar pemerintahan.
Kunci keberhasilan adalah sosok Jokowi sendiri. Seperti Merkel, Jokowi adalah pemimpin yang cerdas dan santun. Lebih dari itu, ia adalah pekerja. Gerakan yang cepat berkombinasi dengan semangat populisme yang membumi menjadikan Jokowi sebagai magnet tunggal dari pemerintahan ini.
Ia berhasil melemahkan serangan politik dari lawan dan pada saat yang sama mampu merebut hati rakyat.
Namun, keberhasilan Jokowi mesti didukung oleh sistem secara keseluruhan. Lingkaran dalam (inner cycle) yang mencakup Wakil Presiden dan para menteri, mesti seirama dan berlari dengan kecepatan yang sama.
Kisruh antarmenteri dalam kabinet hari ini menjadi pertanyaan tersendiri. Yang jelas, Presiden tidak terlibat sama sekali meski harus memikul tanggung jawab atasnya. Kisruh ini jelas menodai citra pemerintahan.
Namun, jauh ke dalam, kita tahu kisruh itu mutlak tidak berkaitan dengan kepemimpinan Jokowi. Keributan antarmenteri adalah bagian dari dinamika revolusi mental di tubuh kabinet.
Ada menteri yang berlari begitu cepat mengikuti irama presidennya, sementara ada menteri yang enggan berlari karena kakinya terbelenggu oleh ke pentingan terselubung.
Kabinet adalah sistem terbatas yang dibentuk untuk membantu Presiden dalam mewujudkan visi dan misi kepemimpinannya. Maka, anggota kabinet harus seiya sekata dengan Presidennya. Soliditas dan sinergitas adalah prasyarat dasar yang harus dipegang para menteri dalam bekerja.
Koordinasi ada di tangan Presiden. Tidak boleh ada pihak lain yang merampas hak prerogatif presiden dalam konteks ini.
Para menteri mesti sadar, dalam Nawacita terkandung banyak harapan. Harapan untuk menjadi Indonesia yang hebat. Hebat dalam segala matra.
Nawacita seharusnya menjadi semangat bersama. Nawacita bukan saja soal cita-cita pembangunan Jokowi yang secara prinsipil merupakan bentuk operasional dari Trisakti Soekarno (Olly Dondokambey, 2015).
Nawacita adalah roh perubahan yang mestinya menjelma menjadi roh bersama yang menyatukan seluruh kelompok, gagasan, dan kepentingan demi terwujudnya pembangunan untuk semua.
Dengan kata lain, Nawacita adalah nyawa kita. Para pembantu Presiden mesti menyadari ini. Berbeda itu biasa. Bertengkar pun biasa.
Tapi, jangan bertengkar di jalan. Konflik mesti diselesaikan di internal kabinet sebagai bentuk respek terhadap Presiden dan dukungan terhadap stabilitas pemerintahan. Kalau tidak, Nawacita bakal mati justru di tangan para pembantu Presiden sendiri.
*) Penulis adalah pengamat politik dan Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA
Oleh Boni Hargens (*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016