Atambua, NTT (ANTARA News) - Perkembangan kondisi keamanan di ibukota Timor Leste, Dili, dan wilayah lain negara baru itu masih belum menggembirakan karena kerusuhan massa masih terjadi di sana-sini yang tidak jarang berakhir dengan baku tembak di antara masyarakat. Warga Indonesia di Dili, Yati Rasyid, yang menghubungi ANTARA di Atambua, NTT, dari Dili, Senin, menyatakan "setiap hari memang terjadi kerusuhan di sini. Polisi juga tidak mampu menangani itu secara baik, sehingga keamanan kurang terjamin, tetapi WNI tidak diganggu secara fisik". Jika kondisi keamanan di Dili tidak kondusif, maka di sepanjang garis perbatasan kedua negara hal sebaliknya malah terjadi. Di Mota Ain, misalnya, aura kerusuhan massa di ibukota negara itu tidak terasa sama sekali, kecuali kesunyian sejak pintu perbatasan itu ditutup secara resmi. Rasyid telah tinggal di Dili sejak 10 tahun terakhir dan membuka toko kelontong serta menyalurkan berbagai keperluan mesin dan suku cadang kendaraan. Tokonya yang berada di jalan utama kota itu kini sepi pembeli, karena ekonomi negara itu sedang buruk dan kenaikan harga berbagai barang terjadi secara sangat tajam . Dia menyatakan aksi bakar ban di jalan, cegat-mencegat antar warga, hingga aksi culik dan membunuh warga setiap hari terdengar terjadi di sana-sini. Bahkan, katanya, pihak polisi ataupun tentara penjaga keamanan dari PBB juga sering menjadi sasaran kemarahan massa. "Toko saya juga pernah menjadi sasaran amuk massa, tetapi setelah diyakinkan bahwa toko ini malah menyediakan pekerjaan, mereka balik melindungi dari penjarah-penjarah. Itu juga yang membuat saya bertahan berbisnis di sini," katanya. Menurut dia, sebetulnya Timor Leste sangat memerlukan pengusaha kecil dan menengah dari Indonesia, karena pengusaha-pengusaha Indonesia itulah yang terbukti setia berbisnis di negara itu hingga kini. Setelah pintu perbatasan ditutup atas permintaan PM Ramos Horta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maka kelangkaan aneka barang keperluan terjadi di mana-mana yang mendorong kenaikan harga sementara pengangguran kini merajalela. Frustrasi Australia yang menjadi promotor utama kemerdekaan Timor Leste enggan berbisnis dalam skala signifikan dan merata hingga ke strata bisnis bawah. Kalaupun terjadi bisnis oleh pengusaha Australia di negara itu, maka hal itu dilakukan dalam payung perjanjian resmi kedua pemerintahan. Rasyid menilai agaknya masyarakat di sana sekarang frustrasi bahwa kemerdekaan yang mereka dapatkan melalui campur tangan asing dan PBB itu justru menyengsarakan mereka. "Bayangkan saja, makan sepiring dengan lauk hanya sayur singkong dan ikan bisa seharga 2,5 dolar AS sementara saya hanya bisa mengaji karyawan 3,5 dolar per hari. Karyawan saya tetap senang digaji sekian itu karena lebih baik ketimbang menganggur seperti yang sekarang banyak terjadi di sana-sini," katanya. Sementara itu, sumber ANTARA di Dili mengungkapkan kelompok Alfredo Renaldo yang dikepung tentara Australia sejak empat hari terakhir di satu desa di Distrik Same, berhasil meloloskan diri dari kepungan. Renaldo sendiri dikabarkan bisa lolos tanpa luka sedikitpun dan kini berada di kawasan selatan negara itu di dekat Distrik Bobonaro. Di pedesaan dan perkotaan di wilayah barat negara itu, Renaldo memang sangat mengakar, populer, dan menjadi simbol perlawanan karena dianggap menjadi tokoh yang berani bersikap. Di sisi lain, satu versi kabar menyatakan tiga anggota tentara Australia itu malah bisa ditewaskan oleh kelompok Renaldo dan versi lain menyatakan selain tiga tewas, masih ada korban luka berat sebanyak sembilan orang tentara. Sumber itu menyatakan, kini tentara Australia berada dalam keadaan tidak menguntungkan, karena dukungan atau sentimen masyarakat diberikan untuk kelompok Renaldo. "Di mata masyarakat, Renaldo itu pahlawan. Masyarakat kini balik mengepung tentara Australia itu. Yang tewas dari pihak mereka itu ada juga yang ditembak warga," katanya. Dia juga menyatakan, kini Angkatan Darat Australia sedang menyiapkan satu satuan pasukan khususnya, SAS (Special Air Service) ke lokasi-lokasi penyergapan untuk mengendalikan keadaan sekaligus mengevakuasi rekan-rekannya. Menurut sumber itu, warga sudah sangat tidak menyukai kehadiran tentara Australia itu karena perilakunya yang berlebihan atau keterlaluan , tidak mau menolong masyarakat, serta mudah melepas tembakan jika ada sedikit saja keramaian massa untuk berdemonstrasi. Dia menyatakan, tentara Australia itu tidak mau membaur dengan masyarakat, apalagi membagi bahan pangan yang dimiliki kepada masyarakat yang sedang kekurangan pangan. Salah satu puncak kekesalan itu, katanya, saat dua warga Timor Leste ditembak mati saat berdemonstrasi di Bandara Comorro oleh tentara Australia. Pihak PBB yang memayungi Australia juga tidak memberikan sanksi tegas kepada pimpinan dan personil yang melakukan pembunuhan itu. "Untuk hal remeh saja mereka tidak mau, msalnya, mereka minum air mineral sebotol tapi dihabiskan cuma seteguk dan langsung dibuang. Begitu diambil anak-anak untuk diminum karena di sini kesulitan air bersih, anak-anak itu langsung diusir. Ini sangat menyakiti perasaan masyarakat," katanya. Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan RI-RDTL TNI, Letnan Kolonel Infantri Hotman Hutahaean, yang dihubungi secara terpisah menyatakan, ?Kondisi di sana memang kacau tapi TNI tidak tahu persis karena belakangan ini KBRI tidak bisa dihubungi. "Namun begitu, baiklah kami lebih waspada, jangan sampai kerusuhan di sana merembes ke sini. Biarlah itu menjadi urusan dalam negeri mereka," kata perwira tersebut . Dia masih belum mendapat perintah resmi untuk membuka kembali semua pintu perlintasan kedua negara. Jika pun ada warga melintas, katanya, maka hal itu berarti sesuai dengan koridor yang disepakati, misalnya, warga negara Indonesia atau Timor Leste yang ingin kembali ke negaranya masing-masing. (*)

Copyright © ANTARA 2007