Jakarta (ANTARA News) - Menipisnya jumlah kayu untuk perumahan membuat permintaan aluminium untuk "free fabrication house" di Indonesia akan semakin tinggi di masa yang akan datang.
"Ke depannya kita semakin membutuhkan aluminium. Salah satu contoh dengan menipisnya kayu untuk perumahan akan meningkatkan permintaan aluminium untuk kusen dan lain-lain," kata pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy kepada ANTARA di Jakarta, akhir pekan lalu.
Dapat dilihat "free fabrication house" tidak dengan kayu, tetapi menggunakan aluminium yang diimpor dari Australia dan beberapa negara lain, termasuk India. Padahal, menurut Noorsy, Indonesia mampu menyediakan kebutuhan aluminium bahkan dengan kualitas yang lebih baik.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor tetap akan tinggi. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia hanya mempunyai hak sebesar 40 persen dari 230.000 ton atau sekitar 92.000 ton dari proyek Asahan, di Sumatera Utara.
Sedangkan kebutuhan Indonesia pertahun terus meningkat, mencapai 200.000 hingga 300 .000 ton, ujar Noorsy. Yang menjadi masalah adalah Indonesia tidak mampu meningkatkan permintaan dari Asahan atau PT Inalum .
"Jeleknya lagi hak yang 40 persen yang dijual dengan harga premium tersebut, pemerintah Republik Indonesia hanya menerima 90 persennya saja," katanya.
Dia mengatakan Indonesia tidak berdaya karena sudah salah dalam strategi awal. Jepang justru mendapatkan 70 persen dari 230.000 ton aluminium yang memiliki kadar tinggi.
Sementara itu, konsultan pertambangan Roziek B Soetjipto mengatakan kebutuhan untuk manufakturing aluminium Indonesia mencapai 50.000 ton. Namun pemenuhan bahan baku ini akan sulit, sehingga harus ada satu "link" antara produk Inalum untuk masuk ke pasar Indonesia.
"Entah kenapa Inalum tidak bisa atau mau suplai bahan bakunya ke pasar industri di Indonesia, sehingga banyak yang musti di impor," ujar dia.
Menurut Roziek, impot aluminium Indonesia untuk manufakturing saat ini sekitar 25 persen. (*)
Copyright © ANTARA 2007