Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia menerbitkan peraturan transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah, untuk memitigasi risiko gejolak di pasar keuangan, terutama karena penggunaan valas oleh pelaku keuangan syariah terus meningkat.
"Sekarang syariah mulai banyak membiayai ekspor impor, kemudian layanan haji dan umroh juga menggunakan valas, obligasi syariah valas juga meningkat," kata Direktur Program Pendalaman Pasar Keuangan BI Edi Susianto dalam paparan di Jakarta, Rabu.
Aturan lindung nilai syariah tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia 18/2/PBI/2016 atau dikenal dengan peraturan transkasi lindung nilai berdasarkan prinsip "hedging" syariah.
Edi meyakini keuangan syariah nasional akan semakin berkembang, terutama didorong langkah serius pemerintah yang telah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah.
Kajian yang dikutip bank sentral menyebutkan pembiayaan menggunakan valas dari perbankan syariah akan terus meningkat. Ongkos Naik Haji saja, ujar Edi, dalam 8 tahun ke depan akan meningkat menjadi Rp52 juta, dan 17 tahun ke depan akan naik menjadi Rp81 juta.
"Kita melihat sejak 2008, kebutuhan valas di syariah terus meningkat. Biaya haji misalnya, pasti membutuhkan pasokan valas," ujarnya.
Selain dari biaya haji, kebutuhan valas oleh perbankan syariah, dan nasabah bisnis berbasis syariah juga diperkirakan meningkat.
"Dari investor, surat berharga berdoniminasi valas juga terus naik," ucapnya.
Maka dari itu, kata Edi, otoritas moneter perlu memitigasi risiko dengan menyediakan acuan penggunaan "hedging" karena jika pembiayaan valas tidak dilindungi, fluktuasi kurs rupiah dapat menganggu stabilitas pasar keuangan syariah.
Sedangkan bagi pelaku usaha syariah, melamahnya kurs saat pembiayaan memasuki jatuh tempo, akan meningkatkan biaya dana yang akhirnya bisa mempengaruhi kegiatan bisnis.
"Selain itu banyak aspirasi perbankan syariah agar regulator segera keluarkan aturan ini," ujarnya.
Dalam PBI ini , pelaku lindung niali syariah adalah nasabah, Bank Usaha Syariah atau Unit Usaha Syariah, dan Bank Umum Konvensional.
Pelaksanaan lindung nilai, menurut aturan BI, harus didahului dengan perjanjian mengenai besaran kurs yang akan menjadi acuan dalam pembayaran di masa datang (forward agreement) atau serangkaian "forward agreement".
Sementara akad yang digunakan adalah Tahawwuth Al Basith atau Tahawwuth Al Muarakkab.
PBI ini juga telah mengikuti Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang dan Fatwa DSN Nomor 96/DSN-MUI/III/2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016