"Banjir hari ini belum separah yang terjadi pada 2013 lalu yang mencapai tiga meter lebih. Kalau cuma satu meter saya masih bisa istirahat di rumah," kata warga Djarkasih (53) di Bekasi, Minggu.
Menurut Djarkasih, banjir pada 2013 merupakan yang terparah di kawasan setempat karena hingga menenggelamkan atap rumah warga di tiga RW, yakni RW08, RW09 dan RW10.
Kakek tiga cucu itu mengaku tidak mau dievakuasi ke tenda pengungsian yang ada sekitar 200 meter dari rumahnya karena merasa lebih nyaman tinggal di rumah bersama keluarga meski lantainya tergenang air.
"Masih bisa tidur di kasur atau sofa. Yang penting barang sudah naik ke atas lemari dan meja," katanya.
Hal senada diungkapkan Reno (29) warga RW09 PGP yang rumahnya terendam air luapan Kali Bekasi karena berlokasi lebih rendah dari aliran sungai.
"Saya tidak mungkin mengosongkan rumah dengan barang-barang yang masih tersimpan di dalam. Paling saya lihat situasi dulu, kalau banjir terus tinggi, saya akan evakuasi barang dan pindah ke tenda pengungsian," ujarnya.
Menurut dia, pihak kepolisian biasanya memasang garis polisi larangan melintas ke pemukiman warga bila kondisi sudah sangat darurat.
"Tapi sampai sore ini belum ada terpasang garis polisi di sekitar sini," katanya.
Pantauan di lokasi mmperlihatkan situasi banjir di kawasan itu cukup membahayakan mengingat ada kebocoran tanggul di RW09 yang airnya melimpas ke pemukiman warga.
Selain itu, PT PLN tidak memutus jaringan listrik di kawasan itu meski air sudah menggenangi sampai ke dalam rumah warga.
Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bekasi Heri Ismiradi mengaku telah memaksa warga PGP untuk dievakuasi ke tenda pengungsian yang sudah disiapkan pihaknya bersama Basarnas.
"Kami harus paksa warga untuk pindah ke tenda pengungsian demi keamanan mereka," katanya.
Namun upaya tersebut diakuinya kurang berjalan mulus karena para korban banjir lebih memilih bertahan di rumahnya sambil menunggu air surut.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016