Jakarta (ANTARA News) - Dephub menolak memberikan penjelasan mengapa proyek pengangkutan pengadaan 60 Kereta Rel Listrik (KRL) bekas melalui Sumitomo Corp Jepang senilai 594 juta Yen (Rp44,5 miliar) atau seharga 9,9 juta Yen (sekitar Rp742,5 juta) per unit, tanpa tender. Dirjen Perkeretaapian, Dephub, Soemino Eko Saputro dalam keterangan tertulisnya melalui Humas Ditjen Perkeretaapian, Soeprapto di Jakarta, Jumat, hanya menjelaskan, KRL hibah melalui Sumitomo Corp yang dilakukan Dephub, lebih murah ketimbang yang diimpor oleh PT Kereta Api (KA). Buktinya, impor oleh PT KA dari operator Tokyu II pada 2006, harganya per unit sebesar 9,150 juta Yen, sedangkan yang dibeli Dephub melalui Sumitomo Corp dari Toyo Rapid/Tokyo Metro pada tahun yang sama hanya sebesar 9 juta Yen. "Ini pun, proses pengangkutan Dephub melalui moda KA dan Trailler dengan jarak tempuh yang sangat jauh, sedangkan PT KA proses angkutannya di Jepang melalui jalan raya dan jarak tempuhnya pendek," katanya. Ditegaskannya, harga sebesar itu dibayarkan Dephub kepada Sumitomo hanya untuk ongkos angkutan dan asuransi dari Pelabuhan Kawasaki, Jepang ke Pelabuhan Tanjung Priok. Sebelumnya, data yang dilansir salah satu media terbitan sore di Jakarta menyebut, PT KA pada 2005-2005 juga membeli 16 KRL bekas dari Jepang seharga 128 juta Yen atau 8 juta per unit dengan kondisi lebih baru. Menanggapi hal itu, Soemino menegaskan, KRL yang didatangkan PT KA diproduksi antara 1963-1983 (Itochu) pada 2004 dan 1969-1973 (Tokyu). Sedangkan KRL hibah Dephub diproduksi pada 1964-1981 (Toyo Rapid/Tokyo Metro). Selain itu, kereta itu telah diganti "material body" KRL pada 1996/97 sehingga kondisinya sangat prima. Direktur Indonesia Railway Watch (IRW), Taufik Hidayat dihubungi terpisah, menilai, akuntabilitas Dephub dalam proyek KRL hibah ini diragukan karena tak mampu menjelaskan ke publik mengapa menunjuk Sumitomo. "Ongkos angkutnya kan cukup besar dan bersumber dari APBN, atau duit rakyat. Mestinya tender dong. Kan Keppres 80/2003 jelas-jelas menyatakan proyek pengadaan di atas Rp50 juta harus tender. Ini kok bisa? Alasan strategisnya apa?," kata Taufik. Oleh karena itu, petugas hukum seperti Jaksa, Polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengecek kasus ini.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007