Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Edi Slamet Rianto dalam temu media di Kuta, Bali, Kamis mengatakan dengan jumlah pemeriksa yang terbatas, otoritas pajak cukup kewalahan untuk memeriksa 20 juta Wajib Pajak (WP) potensial.
"Itu (25.500) angka minimum, jika ingin konsisten pada Undang-Undang (UU Ketentuan Umum Perpajakan)," kata Edi.
Menurut Edi, jika kebutuhan tenaga pemeriksa ini bisa terpenuhi, potensi kekurangan pembayaran dan penghindaran pajak akan signifikan berkurang.
Jika mengacu pada Undang-Undang KUP, kata Edi, pihaknya memiliki waktu penetapan setelah pemeriksaan kepada WP dalam 5 tahun. Namun, dengan jumlah WP potensial sebanyak 20 juta orang, pemeriksaan kurang maksimal, karena rata-rata setiap tenaga pemeriksa hanya memeriksa 8 hingga 10 WP.
"Itu tidak bisa semua kan. Kita fokus kepada WP yang usaha bebas dan potensial," ujar Edi.
Edi juga mengatakan akses informasi aparatur pajak terhadap perbankan sangat diperlukan, untuk memperbarui data basis pajak dan memenuhi target penerimaan pajak.
Perluasan akses informasi pun, ujar Edi, perlu dibarengi dengan pemutakhiran sistem teknologi pemeriksaan dan karakter transaksi yang dilakukan masyarakat.
"Maka itu seperti negara-negara lain, harus ada akses perbankan, dan juga peningkatan transaksi pembayaran yang non tunai," kata dia.
Pengamat pajak dari Universitas Indonesia, Darusallam mengatakan Ditjen Pajak harus memperjuangkan revisi UU KUP untuk akses informasi perbankan agar dapat dituntaskan tahun ini.
Darusallam juga mengingatkan, bahwa Revisi UU Perbankan juga perlu disinkronkan dengan Revisi UU KUP agar keterbukaan informasi perbankan terhadap aparatur pajak mempunyai legalitas hukum yang kuat dan saling mendukung antar sektor.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016