Jakarta (ANTARA News) - Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan kedaulatan rakyat seharusnya diartikan untuk melayani rakyat, bukan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.

"Kedaulatan rakyat harusnya diartikan untuk melayani rakyat, nyatanya saat ini kedaulatan menjadi milik sponsor, yang memberikan dana untuk pilkada," katanya dalam seminar di Universitas Indonesia, seperti dilansir keterangan tertulis MPR, Kamis.

Suasana itu, menurut Zulkifli, membuat MPR menjadi sangat sibuk karena banyak masyarakat yang melaporkan situasi yang semakin tidak baik itu.

"Mereka meminta MPR mengubah UUD NRI 1945, agar cita-cita para pendiri bangsa dilanjutkan. Mereka juga berharap kembalinya GBHN, supaya proses pembangunan berjalan secara berjenjang dan berkelanjutan," ujarnya.

Selain itu Ketua MPR mengatakan, sejak reformasi dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamendemen, Indonesia menggunakan sistem berbangsa dan bernegara yang berbeda dibanding sebelumnya.

"Pancasila sila keempat misalnya, dulu sila tersebut benar-benar diterjemahkan sebagai permusyawaratan perwakilan, sehingga MPR yang dianggap mencerminkan keragaman di Indonesia memiliki kekuasaan tertinggi bahkan berkuasa paling tinggi," katanya.

Namun, kondisi tersebut kata Zulkifli, tidak lagi ditemukan. Sejak reformasi, bupati, walikota, gubernur sampai Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

"Untuk mendapatkan kekuasaan mereka harus bersaing secara terbuka, bahkan memakai cara-cara yang kurang tepat. Ini membuktikan bahwa sila keempat permusyawaratan dalam perwakilan, sudah tidak ditemukan lagi," kata Ketua MPR.

Zulkifki mengatakan, amendemen terhadap UUD NRI Tahun 1945 membuat delapan lembaga negara berada pada posisi sejajar. MPR yang dulu menjadi lembaga tertinggi, kini kehilangan sebagian kewenangannya. Implikasinya, lembaga-lembaga negara itu merasa paling berkuasa.

"Suasana ini terjadi hingga ke daerah. Berkali-kali ditemukan, kunjungan presiden di daerah, tidak dihadiri oleh bupati, wali kota atau gubernur. Mereka merasa dipilih langsung oleh rakyat, sehingga tidak harus tunduk pada Presiden," ujarnya.

Pewarta: Try Reza Essra
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016