Pada episode terakhir era kekuasaannya, Soeharto menjadi sangat nepotistik dengan melibatkan kroninya ke kabinet kekuasaan, seperti diulas BBC pada akhir 1990-an berikut, "Aroma nepotisme dan korupsi di sekitar pemerintahan Soeharto merebak begitu dia mulai mempromosikan keluarga dan kroni bisnisnya yang serakah ke dalam kabinet."
Padahal pada era 1980-an, di tengah kejayaan Orde Baru, Soeharto gencar mempromosikan gebrakan debirokrasi dan deregulasi agar iklim ekonomi sehat dan bebas dari inefisiensi dan kebocoran sehingga investor betah di Indonesia.
Namun lama kelamaan terobosan-terobosan itu lebih banyak menggendutkan perut kroninya dan membuat akses ekonomi semakin terpusat pada segelintir orang namun menguasai lebih dari 80 persen perekonomian nasional.
Perekonomian menjadi sulit dikoreksi untuk dimeratakan kepada semua rakyat sehingga saat spekulan datang mengusik, ekonomi yang dikuasai segelintir orang ini tak bisa menarik partisipasi luas rakyat.
Sebaliknya, mereka semakin tidak tahan assetnya terus menerus digerus serangan spekulasi yang semakin gencar menyerbu setelah mengetahui keroposnya fundamental akibat gelembung utang, asset yang hanya berputar pada orang-orang itu saja, dan produksi yang jauh melampaui daya serap pasar, khususnya infrastruktur dan perumahan.
Tatkala serangan spekulasi mendorong arus modal keluar yang masif, segelintir orang itu berusaha memindahkan beban bisnis kepada rakyat dengan meminta dana talangan dari negara sehingga kas negara mengering untuk memaksa negara mengambil langkah-langkah tidak populer, menaikkan harga-harga.
Akibatnya fatal, stabilitas sosial terusik untuk seketika mengubah krisis ekonomi menjadi krisis politik yang akhirnya menjatuhkan Soeharto.
Sulit memungkiri asing ada di balik kejatuhan itu, namun faktor asing akan sulit menemukan pijakannya jika rezim tidak lalai membangun fundamental ekonomi yang belakangan itu dikavling-kavling karena favoritisme dan kronisme sehingga tatanan ekonomi menjadi nepotistik, koruptif dan manipulatif.
Anak kandung reformasi
Mahasiswa dan rakyat lalu turun ke jalan menuntut "reformasi" terhadap sistem koruptif dan nepotistik itu, sampai-sampai singkatan KKN untuk "kuliah kerja nyata" pun diplesetkan untuk "korupsi, kolusi dan nepotisme".
Orde Baru pun tumbang oleh para penyuara reformasi itu. Orde Reformasi kemudian lahir. Orde ini giat mempromosikan tatanan dan semangat baru yang antitesis dari praktik Orde Baru, khususnya perlawanan terhadap korupsi, ketidaktransparanan dan nepotisme.
Semangat besar itu kemudian diwujudkan menjadi produk-produk hukum dan lembaga-lembaga baru protransparansi, promeritokrasi dan tentu saja, antikorupsi, yang salah satunya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Dari logika ini, jelas KPK adalah anak kandung reformasi, selain simbol perlawanan eternal bangsa ini terhadap praktik berkekuasaan yang korup dan kolutif yang sudah menjalar ke mana-mana, termasuk sistem penegakan hukum.
Setelah hampir 14 tahun hadir, sulit untuk menyimpulkan KPK telah mengkhianati semangat reformasi yang menumbangkan Orde Baru yang korup itu.
Anehnya, upaya menggerogoti KPK semakin kencang. Uniknya pula, keinginan mengamputasi KPK sering disuarakan parlemen yang ironisnya sebagian besar mendapat tiket berkuasa setelah memikat pemilih dengan janji-janji reformatif menciptakan dan meninggikan ketatakelolaan negara yang bersih di mana KPK telah dianggap oleh bagian terbesar rakyat sebagai penjaga ketatakelolaan yang bersih itu.
Hampir setiap kali KPK mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan jejaring besar kepentingan dan kekuasaan, setiap kali itu pula semakin hebat kampanye mengerdilkan KPK yang sulit untuk tidak disebut mengkhianati reformasi.
Menagih janji elite
Hanya kurang dari dua tahun setelah Pemilu 2014, sebagian anggota parlemen kencang menyuarakan perubahan Undang-Undang KPK dengan dalih menguatkan KPK, padahal beberapa poin revisi UU KPK malah luas dianalisis publik sebagai upaya mengkerangkeng KPK, sampai Ketua KPK Agus Rahardjo pun mengancam mundur.
"Kalau revisi ini tetap dilakukan. Saya orang pertama yang akan mengundurkan diri," kata Agus beberapa waktu lalu.
Yang lebih mengenaskan adalah revisi UU KPK itu tidak didasari oleh studi ilmiah yang kredibel serta independen, selain tidak ditanyakan dahulu kepada rakyat seperti diminta Presiden Joko Widodo.
Saat bersamaan, laporan Transparency International menunjukkan indeks persepsi korupsi di Indonesia justru menunjukkan tren naik sepanjang 1995-2015 di mana 2015 mencatat angka tertinggi 36 poin, dan terendah 17 poin pada 1999.
Tentu saja KPK bukan tanpa kekurangan, tetapi para penganjur pembatasan gerak KPK mesti menyampaikan argumentasi yang didukung pandangan-pandangan objektif, independen dan ilmiah bahwa KPK mesti dikoreksi.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada 16 Februari lalu berpandangan bahwa revisi UU KPK semestinya ditempuh berdasarkan hasil penelitian akademis, bukan karena penyesuaian dari golongan tertentu. Menurut Mahfud, hasil akademis akan memuat kesimpulan dan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sulit sekali menyangkal pandangan Mahfud ini, sebaliknya sangat mungkin itu bersesuaian dengan kehendak bagian terbesar rakyat. Yakni rakyat yang tingkat intelektualitas dan pola pikirnya sudah berbeda dari rakyat 30 atau 50 tahun silam. Rakyat yang tak bisa lagi didikte pandangan yang diarahkan, oleh kalimat yang tidak sejalan dengan perbuatan, oleh keangkuhan sebagian elite penguasa bahwa "kami yang berkuasa dan kalian rakyat diam sajalah".
Padahal, dalam diam sekalipun, rakyat sejatinya terus bergemuruh menuntut janji antikorupsi elite diwujudkan. Hasil Pemilu 2014 dan pemilu-pemilu sebelumnya di mana rezim-rezim lahir dan tumbang karena rakyat sensitif terhadap isu korupsi, adalah buktinya.
Beruntung negeri ini tak mengenal Pemilu sela setiap dua tahun di antara dua masa Pemilu seperti berlaku di beberapa negara. Andai negeri ini mengenal pula Pemilu sela, niscaya mayoritas diam itu bakal cepat mengoreksi dan menghukum elite ingkar janji.
Mari menagih janji antikorupsi elite dan memastikan mereka serius memerangi korupsi dengan memberi sinyal bahwa mereka siap memperkuat KPK, anak kandung reformasi.
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016