"Jangan biarkan ada negara di dalam negara. Namun, apa pun pilihan kebijakan pemerintah terhadap prostitusi, seluruh warga negara termasuk para pelaku prostitusi harus dijamin hak-haknya sebagai manusia," kata Devie dihubungi di Jakarta, Senin.
Devie mengatakan, adanya para "pengusaha gelap" di bidang bisnis seks komersial juga terjadi di negara-negara lain, terutama yang memilih untuk tidak melegalkan prostitusi.
Karena pasokan pekerja seks komersial (PSK) yang sulit, mereka kemudian memainkan harga menjadi tinggi untuk mengambil keuntungan, sementara di sisi lain juga memicu suburnya praktik korupsi oleh aparat yang melindungi mereka.
"Pilihan kebijakan Indonesia terkait dengan prostitusi sangat bergantung pada kajian komprehensif pemerintah. Namun, pengalaman negara-negara lain bisa menjadi contoh," tuturnya.
Menurut Devie, Swedia adalah salah satu contoh negara yang berhasil menurunkan angka pelaku seks komersial. Negara tersebut melegalkan prostitusi tetapi memilih mengurangi permintaan dengan memberlakukan hukuman denda yang ketat terhadap para konsumen prostitusi.
"Kita dapat memodifikasi model kebijakan di Swedia dengan tidak melegalkan, tetapi membuat aturan tentang pengenaan denda yang sangat tinggi dan hukuman badan bagi seseorang yang tertangkap menggunakan jasa prostitusi," ucapnya.
Devie mengatakan, 196 negara di dunia terbelah terkait penanganan prostitusi. Sebanyak 77 negara memilih melegalkan, sedangkan sisanya memberlakukan sistem yang sangat ketat terhadap praktik lokalisasi.
Indonesia bersama Thailand, termasuk yang tidak melegalkan secara hukum. Namun, pada tataran praktik kemasyarakatan, bisnis prostitusi tersedia untuk melayani publik.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016