Zurich (ANTARA News) - Sorotan kongres Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pada pekan depan akan diarahkan kepada pemilihan presiden organisasi tersebut.

Namun sejatinya menentukan badan organisasi sepak bola tersebut tercantum dalam sebuah dokumen dengan judul yang tidak menarik "Draf Statuta Kongres 2016".

Disusun selama delapan bulan terakhir, dokumen tersebut mendorong perubahan untuk menghentikan skandal yang telah meninggalkan organisasi yang diharapkan mengatur olahraga terpopuler di dunia menghadapi ancaman terbesar selama beberapa dasawarsa.

Tantangan yang paling nyata adalah penyelidikan kasus kejahatan di Amerika Serikat dan Swiss yang menghasilkan dakwaan korupsi terhadap belasan pejabat sepak bola. Beberapa di antara mereka mengurusi atau mantan presiden asosiasi sepak bola nasional dan kontinental.

Kejaksaan AS melanjutkan pemanggilan kepada beberapa individu FIFA terkait dengan kasus korupsi. Namun FIFA sebagai organisasi yang dituding melakukan tindakan kriminal, para sponsor dan rekanan lainnya mungkin enggan berurusan dengannya.

Akan tetapi hal itu bukan hanya keprihatinan. Bulan lalu, pembicaraan mengemuka di sekitar klub-klub terkuat Europa yang lolos Liga Super Eropa komplain tentang banyaknya waktu para pemain habis untuk membea tim nasional.

Kompetisi tim nasional tergantung pada jadwal yang disepakati oleh FIFA dan klub. Mereka berkomitmen untuk membebaskan para pemain membela timnas mereka pada waktu tertentu.

Kalau beberapa klub -- yang selalu ingin mendkesempatan bermain persahabatan di luar negeri karena menguntungkan -- menarik diri, maka akan menjadikan sepak bola internasional ke arah kekacauan.

Hal itu sama dengan ketidakpuasan pada era 1990-an saat badan organisasi sepak bola Eropa (UEFA menjadi sangat kritis terhadap Joao Havelange, Presiden FIFA asal Brasil pada saat itu.

UEFA membuat proposal yang memasukkan kekuasaan lebih terhadap konfederasi sepak bola "Benua Biru" tersebut dan mengganti presiden FIFA serta membatasi masakepemimpinannya setiap penyelenggaraan Piala Dunia empat tahunan itu.

Klub-klub papan atas, termasuk AC Milan dan Manchester United kemudian meminta dukungan untuk lolos liga dan beberapa pemain top berada dalam kondisi tidak menentu karena bebeapa klub menolak membebaskan mereka untuk bermain internasional.

Tantang Lama dan Baru

Respons FIFA untuk memperkuat asosiasi nasional (FA), beberapa klub, dan sejumlah pemain diskors jika mereka terkait dengan proposal ligaUEFA mengatasi ancaman tersebut melalui pengaturan kompetisi.

Namun FIFA sekarang menghadapi tantangan yang sama, selain ancaman pengaturan skor yang dikendalikan oleh sindikat pertaruhan ilegal, sambil mencoba mengabaikan serangkaian skandal yang mengakibatkan Presiden FIFA Sepp Blatter dilarang aktif di dunia sepak bola atas pelanggaran etik dan membayangkan penganugerahan setidaknya tiga final Piala Dunia. Jelaslah, ini tidak mampu meraih kesalahan reformasi.

"Jika tidak ada kekuatan FIFA, sepak bola tidak akan direbut oleh beberapa orang yang tidak memiliki kepentingan dan dalam permainan ini dan menginginkan permainan ini untuk tujuan lain - politik, bisnis, atau bahkan kejahatan," kata Jerome Champagne, salah satu dari lima orang kandidat Presiden FIFA.

Pembahasan usulan perubahan, termasuk pembatasan masa jabatan pimpinan puncak untuk menghindari terulangnya masa jabatan Blatter selama 18 tahun, demikian juga mengungkap gaji mereka.

Hal itu akan mengambil tanggung jawab atas urusan sehari-hari menjauhkan dari perwakilan politik di asosiasi persepakbolaan nasional. Di situ akan duduk 36 anggota baru Dewan FIFA, yang sekurang-kurangnya enam orang perempuan, merancang strategi organisasi untuk sepak bola dunia.

Dari hari ke hari manajemen malah meluluskan hal baru, sekretaris jenderal profesional, lebih mirip dengan dewan eksekutif perusahaan juga seperti Dewan yang terlihat oleh Komisi Pengaduan dan Audit yang sangat independen.

Usulan tersebut menempatkan tanggung jawab terbesar kepada konfederasi kontinental dan asosiasi bangsa sesuai kebijakan mereka sendiri.

Sebanyak 209 asosiasi sepak bola nasional yang pada akhirnya menguasai Kongres FIFA dan memilih presiden sering kali terlihat sebagai bagian penting dari persoalan tersebut.

Kurang Transparan

Sebagian besar tuduhan AS ditujukan kepada para terduga pelaku kejahatan saat menjalankan tugas di asosiasi sepak bola nasional atau konfederasi kontinental.

Pada November, pengawas antikorupsi dari Transparency International menyatakan bahwa mayoritas asosiasi sepak bola nasional gagal membuat prinsip informasi publik, berpotensi menciptakan pengembangbiakan korupsi.

"Statuta (yang diusulkan) memberikan pesan secara umum mengenai kewajiban konfederasi untuk mematuhi Statuta FIFA tersebut," kata peneliti Transparency International Gareth Sweeney kepada Kantor Berita Reuters.

"Namun mereka tidak cukup mampu menjelaskan bahwa FIFA mengatasi keluhan konfederasi-konfederasi dan asosiasi."

"FIFA secara efektik menjawab persoalan tersebut dalam Kongres, namun bagaimana tansparansi anggota asosiasi? Hal ini jelas bahwa tidak ada kemampuan untuk itu sampai sekarang," ujarnya.

Sweeney juga mengeluhkan rendahnya independensi para partisipator di Dewan FIFA yang seluruh anggotanya dipilih oleh asosiasi-asosiasi dari setiap negara anggota FIFA tersebut.

"Dalam situasi sempitnya kesempatan, usulan perubahan Statuta meliputi kewajiban pengecekan dan pertimbangan yang dapat membatasi jenis korupsi, seperti yang kita lihat di masa lalu."

Para pengamat lain yakin hanya ada satu langkah menuju kesepakatan FIFA agar dimulai secara keseluruhan.

"Kami yakin ingin membasmi hal itu dan melalui mereka, Saya menginginkan pemerintah Swiss. Mereka punya kekuatan untuk itu," kata Jaimie Fuller, anggota kelompok kampanye "New FIFA Now".

Menurut dia, kegagalan FIFA mengorganisasikan debat lima kandidat pada 26 Februari menunjukkan kurangnya iktikad melakukan perubahan.

"Jika pernyataan FIFA sebenarnya mereka menginginkan perubahan organisasi, mereka harus menyelenggarakan debat kandidat, meskipun hari ini sama dengan sistem lama dan hal ini mengubah fakta bahwa mereka tidak menginginkan perubahan," ujarnya.

"Ini sama dengan membuat kesepakatan di balik pintu."

(Uu.M038/D011)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016