Jakarta (ANTARA News) - Pengamat pasar uang, Farial Anwar, mengatakan Bank Indonesia (BI) terlambat masuk ke pasar untuk mengurangi tekanan pasar terhadap rupiah, sehingga mata uang lokal itu hampir bisa menembus level Rp9.200 per dolar AS. "Seandainya BI tanggap dengan adanya gejolak di luar negeri, khususnya terpuruknya indeks komposit Shanghai (China), rupiah kemungkinan tidak akan merosot jauh melewati angka batas psikologis Rp9.100 per dolar AS," katanya di Jakarta, Kamis. Menurut dia, gejolak ekonomi yang terjadi di luar negeri seharus sudah tidak menimbulkan masalah lagi bagi pergerakan rupiah yang saat ini dinilai stabil pada kisaran antara Rp9.000 sampai Rp9.100 per dolar AS, karena BI langsung masuk ke pasar. Apalagi bank sentral memiliki cadangan devisa yang cukup besar, yakni 43 miliar dolar AS untuk mengatasi gejolak tersebut. Hal ini terbukti dengan aktifnya BI melakukan pengawasan sehingga tekanan rupiah hanya terjadi dalam satu hari, dan pada hari berikutnya kembali menguat, tuturnya. Rupiah, lanjutnya, selain didukung oleh BI, juga oleh faktor fundamental ekonomi yang cukup kuat dan tidak adanya gejolak politik yang menimbulkan tekanan terhadap pasar. "Kami optimis rupiah akan bisa kembali ke level Rp9.100 per dolar AS, meski untuk menuju ke arah sana memerlukan waktu," katanya. Dikatakannya rupiah merupakan mata uang lokal yang mudah goyah, sekalipun fundamental ekonomi cukup baik, karena kuatnya peranan spekulator bermain di pasar uang domestik. Apabila rupiah merosot tajam, setelah ada isu negatif yang menekannya yang memicu dolar AS menguat, maka spekulator melakukan aksi melepas dolar AS untuk mencari keuntungan ("profit-taking") dan begitu pula sebaliknya. Hal ini terutama disebabkan spekulator memiliki dana kuat yang bisa memainkan pasar bahkan bisa menimbulkan gejolak ekonomi, apabila keterpurukan yang lebih parah terjadi pada suatu mata uang sebuah negara, tuturnya. Ditanya apa kaitannya dengan SBI (Sertifikat Bank Indonesia), menurut dia, merupakan alat untuk menstabilkan peredaran uang apabila terjadi gejolak. Karena itu penghapusan SBI tidak mudah dan memerlukan waktu yang lama, katanya. Apalagi lanjutnya, penghapusan SBI baru sebuah wacana yang mungkin dalam beberapa tahun ke depan masih dalam tahap pemikiran. Namun yang pasti, BI masih menerima dana baik dari investor asing maupun perbankan yang sudah mencapai Rp237 triliun dan pada akhir tahun ini bisa mencapai Rp300 triliun yang pada suatu saat akan meledak menjadi bumerang membayar bunga yang tinggi, demikian Farial Anwar. (*)
Copyright © ANTARA 2007