Jakarta (ANTARA News) - Beberapa waktu lalu saya diundang Telkom berbagi pandangan lagi di hadapan Peserta Kursus Kepemimpinan (Suspim) di Geger Kalong, Bandung. Temanya tentang "Unselfish Leadership".
Pilihan topik itu sebenarnya menimbulkan pertanyaan: apakah ada pemimpin yang selfish, alias mementingkan dirinya sendiri. Atau kebanyakan pemimpin selfish, sehingga perlu topik khusus?
Saya memulai perbincangan dengan mengajukan pertanyaan; siapa pemimpin di Telkom dan di luar Telkom yang dikagumi? dan mengapa?
Jawaban peserta menarik. Kebanyakan mereka menjawab, Cacuk Soedarjanto. Tak heran. Para peserta adalah para eksekutif senior yang pada awal tahun 90an mengalami masa-masa awal transformasi Telkom. Transformasi Telkom gelombang pertama.
Banyak kisah menarik dituturkan peserta dengan detil bagaimana Cacuk meletakkan fondasi manajemen Telkom, banyak interaksi dengan karyawan, turun ke lapangan, rajin diskusi dan mencari solusi atas masalah bersama. Semuanya berdampak pada pembangunan sistem dan perilaku kerja baru di Telkom. Mengubah orientasi dari birokrasi kantoran menjadi budaya melayani pelanggan.
Cacuk menetapkan arah bisnis secara strategis dan lantas memastikannya berjalan di lapangan. Praktik "hands-on management".
Selain perhatian pada produk, proses dan kualitas layanan, Cacuk juga memberikan prioritas pada pengembangan kompetensi sumberdaya manusia termasuk menyempurnakan sistem remunerasi yang lebih berhubungan dengan kinerja. Meritokrasi.
Saya jadi teringat pada memori awal tahun 90-an, saat harus antri di kantor Telkom Bogor untuk mendapatkan sambungan telpon rumah pertama kali.
Situasi yang berubah drastis setahun setelahnya saat tetangga satu kompleks mendapatkan kunjungan petugas Telkom yang menawarkan jasa pemasangan sambungan. Rupanya ada program Satu Juta Sambungan baru yang dipimpin Cacuk.
Cacuk juga berpikir panjang dengan menetapkan rencana pendirian kampus seluas 50 ha di Kawasan Buah Batu Bandung untuk menyiapkan sumberdaya manusia masa depan Telekomunikasi Indonesia. Lokasi itu, kini telah jadi kampus Universitas Telkom.
Para peserta mengingat semua momentum itu, karena rupanya mereka merasa terlibat dalam transformasi Telkom. Bagian dari perubahan. Perubahan bukan milik Cacuk saja.
Menurut Zenger & Folkman (2009), tipe kepemimpinan ini disebut sebagai kepemimpinan inspiratif. Para pemimpin jenis ini melakukan hal-hal benar untuk perusahaan, strategis dan operasional.
Ia fokus semata-mata untuk kepentingan kemajuan Perusahaan. Para karyawan melihat perbuatannya. Lantaran itu, ia menjadi inspirasi bagi yang lain. Inspiratif bukan lantaran kata-katanya semata, melainkan atas konsistensi perbuatannya.
Zenger & Folkman menyebut lima karakteristik pemimpin inspiratif: karakter yang berintegritas, insan yang kapabel, fokus pada results, cerdas interpersonal, dan memimpin perubahan secara organisasional. Ada 16 perilaku pemimpin inspiratif menurut keduanya, turunan dari lima karakter itu.
Yang dijalani para pemimpin itu adalah transformasi organisasional. Bukan personal semata. Berjalan sistemik dan berkelanjutan.
"Life is not without problem". Ada masa Cacuk pun mengalami ujian. Ia sempat dituduh melanggar prosedur dan diberhentikan mendadak saat menjadi Dirut.
Namun, waktu jua yang membuktikannya. Ia clear. Bahkan sempat dipercaya Presiden Soeharto menjadi salah satu Menteri Muda. Cacuk wafat tahun 2004 dengan reputasi dan rekam jejak yang bersih.
Dalam model ProLM (Prophetic Leadership & Management Model) yang dikembangkan Syafii Antonio (2008), kepemimpinan inspiratif menurut Zenger ini selaras dengan karakter FAST: fathanah (cerdas, kompeten), amanah (dapat dipercaya), shidiq (jujur, berintegritas) dan tabligh (komunikatif).
Seorang pemimpin inspiratif biasanya tetap hidup di hati para karyawan yang pernah bersamanya, meski jabatannya sudah berakhir, bahkan mesti ia sudah wafat. Ia dikenang, bukan lantaran tuah kata-katanya semata, melainkan karena konsistensi perbuatannya.
Dia berpikir dan bertindak semata-mata untuk Perusahaan dan orang-orang yang dilayani dan dipimpinnya. Bukan untuk dirinya pribadi.
Sistem dirancang dan dijalankan bukan untuk melegitimasi kepentingan pribadinya. Tata kelola dibangun untuk mengatasi agency problem, Direksi bisa melanggar kepercayaan pemegang saham atau stakhokders bila tak disertai praktik tata kelola.
Saya yakin, masih banyak dan akan semakin banyak para pemimpin Indonesia yang dikenang unselfish leader, sepanjang mereka terus bekerja dengan benar. Sebab, reputasi itu perbuatan nyata. Bukan kata-kata.
*) Change Partner pada Strategic Actions & Rumah Perubahan. CEO LKBN ANTARA 2007-2012.
Oleh Mukhlis Yusuf *)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016