Surabaya (ANTARA News) - Pakar sekaligus peneliti di Laboratory of Electric Machinery, Departement of Electrical and Electronic Engineering, Kitami Institute of Technology, Hokkaido, Jepang, Marwan Rosyadi mengatakan bahwa Indonesia berpotensi mengembangkan turbin angin (wind turbin) untuk memenuhi kebutuhan listrik.
"Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan turbin angin guna memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia yang masih dinilai kurang, apalagi didukung posisi Indonesia yang berdekatan dengan Samudera Hindia, sehingga angin akan berhembus kencang," kata dosen muda Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) itu ketika ditemui di UMS, Selasa.
Konsep turbin angin tersebut, lanjutnya, bisa diadaptasi dari Jepang karena posisinya yang juga berdekatan dengan Samudera Atlantik, serta Indonesia juga memiliki sumber daya alam yang kaya, namun hanya dinikmati oleh segelintir orang atau pihak tertentu.
"Berbagai negara maju pun mulai melakukan riset dan mengembangkan pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan dengan menggunakan tenaga air, uap maupun angin, seperti Jepang yang saat ini mulai membangun turbin angin untuk memenuhi pasokan listrik," kata Analisis Dinamik dan Pengendalian Jejala Daya Skala Besar yang digandeng dengan sumber-sumber energi terbarukan.
Berdasarkan Global Wind Energy Council (GWEC), sebuah organisasi statistik turbin-turbin dunia, kata dia, pada 2050 tren di Eropa tidak akan menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, namun menggunakan energi baru terbarukan yaitu tenaga air, uap dan angin.
"Penggunaan bahan bakar fosil untuk membangkitkan energi tidak selamanya bisa dilakukan, apalagi bahan bakar fosil merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sehingga persediaannya kian menipis," tuturnya.
Ia mengatakan turut ambil peran dalam riset turbin angin di Jepang, karena sejak tahun 2013 bekerja sebagai peneliti di Kitami Institute of Technology, Hokkaido, Jepang. Sebelumnya, telah mendapat gelar Doctor of Engineering (Dr. Eng) dari Kitami Institute of Technology, dalam bidang Cold Region Environmental and Energy Engineering.
"Saya hanya menganalisa bagian kecil bilik turbin sebelum dilakukan pembangunan, dengan menggunakan equivalent dynamic model untuk simulasi pembangunan turbin angin atau peternakan angin (wind farm) sebagai pembangkit energi listrik. Model itu dianggap lebih cepat dibanding model detail," ungkapnya.
Dengan simulasi yang sama dengan waktu durasi 10 detik, tambahnya, hasil saat menggunakan model detail sekitar 48,3 menit, sedangkan saat memakai equivalent, durasi lebih cepat menjadi 5,1 detik.
"Simulai itu untuk mengetahui energi sebesar apa yang dihasilkan turbin angin jika terjadi perubahan kekuatan angin. Hasil selanjutnya bisa mengetahui risiko terjadinya gangguan pada turbin sejak dini," jelasnya.
Menurut dia, Jepang membutuhkan waktu lima tahun untuk riset sampai membangun turbin dan saat ini sudah ada turbin yang menghasilkan 7 megawatt atau setara dengan 7 juta watt, dengan menghabiskan dana sekitar Rp2 miliar setiap turbinnya.
"Jika turbin angin dikembangkan di Indonesia, lokasi yang cocok utamanya di wilayah sekitar laut selatan karena kekuatan anginnya 4-8 meter per detik. Semakin ke utara, anginnya semakin kencang, namun hingga kini belum ada kajian yang komprehensif di Indonesia mengenai potensi pengembangan energi listrik melalui turbin angin," kata dia.
Marwan sendiri menunggu pemerintah untuk mengembangkan teknologi ini, karena diakuinya biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah dibandingkan yang lain. Teknologi ini sangat bagus untuk mengembangkan program Presiden Jokowi yang akan terus mengembangkan energi baru terbarukan.
Pewarta: Indra Setiawan/Laily Widya
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016