Pembatasan ada untuk menghormati hak orang lain juga."
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menilai, saat ini banyak orang yang salah kaprah dan kebablasan mengimplementasikan Hak Asasi Manusia (HAM), terutama soal berpendapat dan berserikat.
Ia mengemukakan hal itu saat Sosialisasi Empat Pilar dalam rangkaian kegiatan Musyawarah Nasional ke-2 Ikatan Da'i Indonesia (IKADI) di Aula Asrama Haji Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, yang juga dihadiri Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin dan perwakilan Panglima TNI, demikian keterangan dari MPR RI
Menurut dia, kebebasan diartikan berlebihan, salah satunya terbukti dengan banyak orang yang menuntut soal pernikahan lintas agama dan pernikahan sejenis.
Tak hanya itu, fenomena Gafatar, yakni munculnya orang yang mengaku nabi, serta aksi radikalisme, juga menunjukkan berlebihnya orang menginterpretasikan agama.
Padahal, menurut dia, kebebasan seharusnya memiliki batasan, seperti yang tercantum dalam Pasal 28 J bahwa "Berkewajiban menghargai hak asasi orang lain serta tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang".
"Sudah jelas konstitusi negara Indonesia memberikan kebebasan berekspresi dan berpendapat serta berserikat, namun ada batasan yang ditetapkan perundangan. Jika tidak dibatasi, maka akan sangat kebablasan. Setiap orang bebas mendirikan organisasi negatif misalnya perkumpulan maling, teroris. Pembatasan ada untuk menghormati hak orang lain juga," catatnya.
Selain membahas HAM, Hidayat Nur Wahid juga mengemukakan, perlunya haluan atau panduan negara seperti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sehingga arah pembangunan Indonesia menjadi terencana dan terarah.
"Selama ini arah pembangunan nasional sesuai dengan visi dan misi presiden. Padahal, sesuai konstitusi, presiden hanya menjabat selama dua periode, yakni hanya selama 10 tahun maksimal," jelasnya.
Selain itu, menurut dia, "Indonesia negara yang sangat besar mustahil arah pembangunannya jangka pendek hanya 10 tahun. Jika presiden berganti, maka tidak ada jaminan Presiden selanjutnya akan melanjutkan program presiden sebelumnya."
Untuk memunculkan GBHN yang merupakan produk MPR, lanjut Hidayat, maka harus melalui satu pintu, yakni amandemen kembali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang memerlukan pengajauan dari sepertiga anggota MPR RI.
Penerjemah: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016