Penandatanganan itu sebagai upaya Salman untuk memenangi pemilihan pejabat tinggi induk organisasi cabang olahraga sepak bola dunia tersebut pada akhir bulan ini.
Presiden Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) tersebut mengubah kata-kata klausul yang disepakati bersama pengawas HAM dan beberapa lembaga swadaya masyarakat lainnya serta mengirimkannya kepada lima kandidat lain yang bersaing untuk bisa menggantikan Sepp Blatter pada pemilihan 26 Februari.
Keluarga kerajaan Bahrain itu menghapus referensi individu untuk Piala Dunia 2018 di Rusia dan Piala Dunia 2022 di Qatar serta pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) untuk memberikan ruang lingkup yang lebih luas atas komitmen jabatannya.
"Jika kami mengeluarkan statemen tentang kesetaraan hak dan kesempatan, maka secara nyata kami harus mempraktikkan semua pendekatan, termasuk mencakup semua kelompok minoritas dan tidak melulu beberapa hal yang menjadi perhatian pengawas HAM seperti dalam perjanjian yang asli," katanya, Jumat.
"Saya memandang bahwa kami tidak harus selektif dalam beberapa area yang menjadi perhatian HAM."
Salman menyerahkan satu berkas salinan komitmen yang ditandatanganinya itu kepada Komisioner Pemuda Uni Eropa, Lembaga Kebudayaan dan Olahraga Tibor Navracsics di Belgia, Rabu (10/2) menjelang batas akhir Amnesti Internasional, Sabtu (13/2) depan.
Kampanye keluarga kerajaan Bahrain itu mendapat dukungan kuat untuk menggantikan Blatter having dari 53 anggota Konfederasi Sepak Bola Afrika dan 47 anggota AFC dalam pemilihan yang dihadiri 209 anggota FIFA itu.
Salman sudah lama menyangkal berbagai klaim dari kelompok-kelompok HAM bahwa dia terlibat pelanggaran pemain sepak bola Bahrain setelah pemberontakan di negaranya pada 2011.
Salman menghadapi tantangan dari kandidat keturunan Swiss-Italia Gianni Infantino, Pangeran Jordania Al bin Al Hussein, pebisnis Tokyo Sexwale asal Afrika Selatan, dan mantan Sekjen FIFA Jerome Champagne, untuk menggantikan Blatter yang dilarang berkecimpung di dunia sepak bola selama delapan tahun pada bulan Desember 2015.
Organisasi tersebut mengalami krisis terburuk dalam sejarah 111 tahun sejak berdirinya terkait penyelidikan kasus korupsi oleh penegak hukum di Swiss dan Amerika Serikat.
Belasan orang, termasuk pejabat senior organisasi persepakbolaan dunia tersebut terindikasi melakukan penggelapan dana dan pencucian uang. Demikian laporan Reuters.
(Uu.M038/D011)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016